Blogroll

Senin, 05 Mei 2014

Tasawuf dan Etika Pembebasan

 Setiap kata ”Pembebasan” muncul, selalu terbayang soal belenggu,penjajahan, tekanan, beban, derita, dan sejumlah situasi buruk atau pun kebudayaan yang menekan mentalitas manusia.

Seluruh usaha intelektualisme maupun gerakan psikologi pembebasan terus berupaya menyelesaikan belenggu-belenggu kemanusiaan ini, dan hanya berakhir dengan beberapa penyelesaian:

Pseudo Solution atau penyelesaian yang semu, karena hanya menyentuh aspek pinggirian eksistensi manusia itu sendiri. Lalu diikuti oleh cara-cara instan, semacam ”pemadam kebakaran” belaka.

Penyelesaian egoistis, yang mengeksplorasi kemampuan, kekuatan, kehebatan dan eksistensi ”keakuan” sebagai perlawanan atas penderitaan yang selama ini ada. Lalu muncul jargon psikologis, ”Aku Bisa...!Aku Berdaya...!Aku Mampu....Aku Hebat!”. Solusi ini menimbulkan kekuatan egois yang luar biasa, tetapi dengan karakter arogansif, diktator, opressif, dan pengabaian nilai-nilai Ketuhanan.

Solusi passif, pembiaran atas masalah dengan asumsi akan selesai dengan sendirinya.

Dalam gerakan pemikiran dan dakwah agama, seringkali bentuk-bentuk pembebasan dimunculkan melalui:

Perlawanan yang frontal dan radikal terhadap apa pun yang berbeda dan mengancam.

”Pelarian-pelarian semu” pada agama, dengan bersembunyi dibalik ”takdir, Kebesaran Tuhan,  Kehendak Tuhan, dan sebagainya...” tanpa proses edukasi dan pemahaman apa yang disebut dalam firman Allah Swt ”Larilah kalian kepada Allah Swt...”

Agama dijadikan lahan industri ekonomi sebagai cara membebaskan diri dari himpitan sosial dan ekonomi,  dan malah berakhir dengan ”tragedi industri agama” yang memuakkan. Kasus ”Islam Tontonan” dibanding ”Tuntunan”  menjadi reprensentasi paling sederhana.

Agama dijadikan solusi pembebasan, tetapi tidak pada akar fundamental agama maupun hakikat kemanusiaannya, sehingga interaksi agama dan manusia hanyalah interaksi dari kulit ke kulit.

Agama tidak dimaujudkan dalam keutuhan beragama, tetapi  elemen-elemen agama malah dijadikan sejumlah poitensi konflik untuk saling dibenturkan.

Dalam proses pembebesan sedemikian rupa, posisi manusia, agama dan Allah Swt, bukannya hadir dalam bentuk interaksi yang beradab, tetapi malah berada dalam posisi saling menuding. Dan itulah sekulerisme paling maniak dalam kehidupan beragama kita.

Dalam tataran keagamaan (Islam), proses pembebasan dijadikan bagian paling fundamental dalam kehidupan. Dan karena itulah dimunculkan hubungan-hubungan Ketuhanan yang bersentuhan langsung dalam eksistensi diri manusia: yang terdiri dari aspek lahiriyah, aspek bathiniyah, dan aspek rahasia bathin.

Reposisi yang tegas disampaikan oleh Rasulullah saw, melalui ajaran Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga aspek yang sangat berpengaruh dalam peradaban ummat Islam sepanjang masa, dan kelak jugamempengaruhi proses-proses konflik dan damai dalam dinamika sejarahnya.

[B]PEMBEBASAN ESENSIAL
[/B]Salah satu nilai esensial dalam praktek pembebasan, adalah pembebasan dari perbudakan segala hal selain Allah swt. Dalam sebuah ayat Surat Al-Fatihah “IyyaKa Na’budu wa-IyyaKa Nasta’iin” (Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan).

Kata “Na’budu” (Kami menyembah), bukan A’budu (saya menyembah) sudah menunjukkan bahwa wujud kehambaan kita, adalah totalitas diri kita, lahir, batin, rahasia batin dengan seluruh elemennya yang dimunculkan dengan kata “kami”.

Statemen final dari kehambaan kita dalam IyyaKa Na’budu, sebagai pengabaian atas segala perbudakan selain kepada Allah Swt, yang kelak dalam dunia Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandary, ”Mathlabul ‘Arifin,  ash-Shidqu fil-‘Ubudiyah wa-Iqomatu Huquq ar- Rububiyyah” (yang dicari oleh para arifun adalah benar dalam menjalankan kehambaan dan menegakkan Hak-hak Ketuhanan).

Karena itu, posisi “wa-IyyaKa Nasta’in” (hanya kepadaMu kami memohon pertolongan) adalah manifestasi dari wujud penegakan Hak-Hak Ketuhanan dalam kepribadian sang hamba.

Dengan bahasa lain yang senada, Ibnu Athaillah as-Sakandary, menyebutkan dalam bahasa tugas, yaitu “Tahaqququl ‘Ubudiyah”  (mewujudkan kehambaan) dan “Ta’alluq bir-Rububiyah” (menggantungkan diri pada Sifat Ketuhanan), bukan mewujudkan Sifat Ketuhanan.

Sejumlah Sufi juga menegaskan:

IyyaKa Na’budu adalah kefanaan hamba, wa-IyyaKa Nasta’in adalah Baqo’Nya Allah swt.
IyyaKa Na’budu, adalah jika engkau tak mampu melihatNya maka Dialah yang Melihatmu, dan wa-IyyaKa Nasta’in  jika engkau menyembah seakan-akan engkau melihatNya.
IyyaKa Na’budu adalah Mi’raj, wa-IyyaKa Nasta’in adalah Rahmatan Lil-‘Alamiin.
IyyaKa Na’budu adalah ibadah dan ‘ubudiyah (hendaknya menyembah dan menuju) wa-IyyaKa Nasta’in adalah ‘abudah, hendaknya engkau Musyahadah dan Ma’rifah.
IyyaKa Na’budu adalah Taraqqy (menanjak ke Ilahi), dan wa-IyyaKa Nasta’in adalah Tanazzul (turun bersama Allah Azza wa-Jalaa).

Penafsiran ayat di atas tentu akan terus memanjang tiada akhir, karena sifat absolutnya Ketuhanan Allah Rabbul’ Izzah.

Namun, ada beberapa tonggak penyangga yang bisa mengokohkan kehambaan kita, agar pembebasan sejati maujud dalam kenyataan sehari-hari: Ada sepuluh penyangga ‘ubudiyah kita yang disebut oleh Ar-Rifa’I dalam Haalatu Ahlil Haqiqah ma’aLlah.

Pertama, Al-I’tisham Billah fii Kulli Syai’: Berkait pada Allah Swt dalam segala hal.
Kedua, Ar-Ridho ‘AniLlah fii Kulli Syai’: Ridho apa pun dari Allah dalam segala hal.
Ketiga,  Ar-Ruju’ IlaLlah fii Kulli Syai’: Kembali pada Allah dalam segala hal.
Keempat, Al-Faqru IlaLlah fii Kulli Syai’: Butuh pada Allah dalam segalanya.
Kelima, Al-Inabah IlaLlah fii Kulli Syai’: Kembalinya hati pada Allah dalam segala hal.
Keenam, Ash-Sahbru ma’aLlah fii Kulli Syai’: Sabar bersama Allah swt dalam segala hal.
Ketujuah, Al-Iqitha’ IlalLah fii Kulli Syai’: Memutuskan diri, jiwa hanya untuk Allah dalam segala hal.
Kedelapan, Al-Istiqomah BiLlah fii Kulli Syai’: Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Kesembilan, At-Tafwidh IlaLlah fi Kulli Syai’: Menyerahkan urusannya kepada Allah dalam segala hal.
Kesepuluh, At-Tasliim Lillah fii Kulli Syai’: Menyerahkan total dirinya pada Allah dalam segala hal.

Kesepuluh penyangga ‘Ubudiyah inilah yang kemudian bisa dissimpulkan dalam pandangan Ibnu Athaillah as-Sakandary, pada hikmah utama beliau “I’timad BiLllah” (Mengandalkan Allah Ta’ala).

[B]CAHAYA PEMBEBASAN
[/B]Apa yang muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari siklus kemakhlukan dan semesta ini. Proses-proses hubungan manusia dengan Allah Ta’ala, dirinya dan alam semesta,  jika tidak dipancari Cahaya Allah Swt, akan memperpuruk kegelapan kita, akibat Hijab (tirai) yang menabiri kita dengan Allah Swt. (Walaupun hakikatnya tirai itu tidak ada,  namun imajinasi dan nafsu kita yang menciptakan tirai itu seakan-akan ada).

Tanpa Pencahayaan Ilahi, proses pembebasan hanyalah khayalan tentang pembebasan itu sendiri. Disinilah perlunya Pendidikan Ruhani (Tarbiyah Ruhiyyah) yang dibangun melalui Thariqat Sufi, dengan cara dan metode yang yang sangat khas, agar proses pembebasan dari belenggu semesta terwujudkan, dan sukses dalam wushul (sampai) pada Allah Azza wa-Jalla.

Karena itu para Ulama Sufi juga membangun paradigma dan sistematika pendidikan ruhani ini, agar memudahkan proses-proses tercapainya keutuhan Islam, Iman dan Ihsan. Imam Al-Ghazaly membangun sistematika yang cukup bagus dalam Al-Ihya’ maupun dalam  Kitab al-Arba’in fi Ushuliddin, dengan membagi 40 wacana pendidikian spiritual yang sederhana dan luar biasa.

Al-Ghazali misalnya membuat silabus yang cukup bagus dengan 40 prinsip utama:

Sepuluh prinsip pertama:  Ilmu dan Akidah: tentang Dzat Allah Swt; Taqdis Allah Swt; Qudrat; Ilmu; Iradat; Sama’ dan Bashar; Kalam; Af’al; Yaumul Akhir; dan Kenabian.

Sepuluh prinsip kedua: Amal-amal Lahiriyah: Shalat; Zakat dan Sedekah; Puasa; Haji; Membaca Al-Qur’an; Dzikrullah; Mencari Rizki yang Halal; Mememnuhi Hak Sesama Muslim dan Pergaulan Sosial; Amar Ma’ruf Nahi Mungkar; dan Mengikuti Jejak Nabi Saw.

Sepuluh Prinsip ketiga: Penyucian Hati dari Akhlaq Tercela: Makan rakus; Bicara Kotor; Amarah; Kedengkian; Bakhil dan Cinta Harta; Ambisi dan Gila Tahta; Cinta Dunia; Takabur; Takjub Diri; dan Riya’.

Sepuluh Prinsip keempat: Tobat; Khauf; Zuhud; Sabar; Syukur; Ikhlas dan Jujur; Tawakkal; Cinta; Ridho terhadap Qodho’; Mengingat Mati dan Hakikat Mati serga Ragam Siksa Ruhani.

Pada prinsipnya, menurut para Sufi, hakikat siksaan adalah Hijab itu sendiri.  Karena itu dalam, simpul kali ini kami sampaikan ungkapan hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandary:

”Semesta secara total adalah gelap gulita.Yang meneranginya adalah tampilnya Allah Swt dibalik alam ini. Siapa yang memandang alam semesta (lahir maupun batin, langit maupun bumi, dunia maupun akhirat, pent) namun tidak menyaksikan Allah Swt  di baliknya, atau di sisisnya, atau sebelumnya atau sesudahnya, maka ia benar-benar kabur dari wujud cahaya-cahaya, dan terhijab dari matahari ma’rifat olerh mendung-mendung semesta.”



KHM LUQMAN HAKIM, MA.

Jumat, 05 April 2013

SEMANGAT AIKIDO

KALIMAT O'SENSEI MORIHEI UESHIBA

Ai-Ki bukanlah suatu teknik untuk bertempur atau untuk mengalahkan lawan, tetapi merupakan cara untuk menyatukan manusia sebagai satu keluarga.

Rahasia Aikido adalah menyelaraskan diri kita dengan perubahan dan pergerakan alam serta membawa diri kita menyatu dengan alam.
Dengan demikian, orang yang telah memperoleh rahasia Aikido memiliki alam semesta dalam dirinya.

Hati yang memiliki kasih, yang hadir di mana-mana dalam segala bagian dan setiap waktu.
Tidak ada perselisihan di dalam kasih, Tidak ada musuh di dalam kasih. “Pikiran untuk berselisih dan pikiran memiliki musuh tidak konsisten dengan petunjuk Tuhan".

Siapa yang tidak setuju dengan prinsip ini tidak akan bisa selaras dengan alam,
Budo nya hanya menjadi alat penghancur, bukannya budo pembangun dengan rasa kasih, yang dapat memberikan rasa damai pada kehidupan ini.

Bersaing dalam teknik, menang atau kalah, bukanlah tujuan budo yang sesungguhnya.

Kemenangan terhadap diri sendiri akan menghantarkan Anda mencapai tujuan yang diberkahi tuhan.

Didalam Aikido, yang dibutuhkan adalah pikiran untuk menjadikan kedamaian bagi semua manusia dan bukan pikiran dari seseorang yang berharap menjadi kuat atau yang berlatih untuk menumbangkan lawan.

Dunia ini tidak akan menjadi baik karena orang saling membandingkan dengan berkata-kata dan melakukan hal-hal ceroboh, sehingga kebaikan dan kejahatan menjadi tipis batasannya.
Aikido melepaskan diri dari semua keterikatan itu. Aikido menjaga agar semua tumbuh dan berkembang secara dinamis untuk tujuan mulia.

Ini bukan sekedar teori, Praktekkanlah, maka Anda akan menerima kekuatan yang luar biasa...


Tulisan Doshu Kisshomaru Ueshiba (Putra Morihei Ueshiba) dalam karyanya yang berjudul "Aikido", menuliskan :
  • Kemenangan berarti menang terhadap kecamuk batin dalam diri. Ini adalah misi yang mulia. Winning means winning over the mind of discord in yourself. This is to accomplish your bestowed mission.
  • Budo sejati adalah berbuat dengan rasa cinta kasih. Budo sejati adalah berbuat untuk menyelamatkan kehidupan semua makhluk, tidak untuk membunuh atau berkelahi satu sama lain. Cinta kasih dari Tuhan menjadi pelindung bagi segala sesuatu. Tak ada sesuatupun bisa ada tanpanya. Aikido adalah realisasi cinta kasih. True budo is a work of love. It is a work of giving life to all beings, and not killing or struggling with each other. Love is the guardian deity of everything. Nothing can exist without it. Aikido is the realization of love.

O'Sensei Morihei Ueshiba meyakini jalan samurai kuno bahwa praktisi bela diri haruslah berupaya keras untuk menghindari pertempuran. Namun jika tidak bisa dihindari, sakitilah sebelum terpaksa menciderai Dan jika harus membunuh, bunuhlah dengan cara yang cepat dan tidak menyakitkan. Sebab hidup sangatlah berharga untuk disia-siakan, bahkan ketika harus menghadapi kematian".

Jangan pandang mata penyerang
Karena dapat menyerap semangat anda
Jangan hanya memperhatikan pedang penyerang
Karena dapat membuang ki Anda
Karena ki-nya dapat mengendalikan Anda.

Janganlah menjadi bingung dengan teknik menyerang
Sebelum serangan lawan datang.
Dengan kemampuan melaksanakannya, anda akan memiliki kesadaran melebihi yang lainnya.

Dalam Aikido, ada lawan tetapi dalam kenyataannya tidak ada lawan.
Karena pihak lain adalah satu dengan diri anda,
Bergeraklah sebagaimana yang anda kehendaki,
Maka yang lain berkehendak sebagaimana kehendak anda.
Jadi, jika seseorang bergerak sebagaimana yang dikehendakinya,
Yang lain secara alami akan mengikutinya.

Kekuatan manusia dinyatakan dalam gerak lingkar
Dimana kita adalah pusatnya.
Kekuatan tidak akan dapat melampaui lingkaran tersebut.
Tidak masalah bagaimana kuatnya seseorang,
Sekali ia terjebak ke dalam kekuatan lingkaranya,
Ia tidak lagi punya kekuatan.
Jika seseorang telah memegang orang lain
Masuk ke dalam lingkaran yang dibuatnya,
Maka orang yang dipegang nya menjadi tidak bertenaga,
Sehingga dapat dengan mudah ditumbangkannya dengan satu jari.

Napas yang sejati adalah napas yang menyatu dengan alam.
Dari situlah anda memperoleh kekuatan alam.
Berputar ke kanan, dia maju. Berputar ke kiri dia mundur.
Satu pilihan dan rotasi bebas dengan langit dan bumi.

Senin, 25 Februari 2013

Melihat Tingkatan “Sabuk” dari sudut pandang “Do (Tao)”

" Kenaikan tingkat adalah sebuah alat untuk mengevaluasi kemampuan seseorang dan kemajuannya secara obyektif dengan satu set standarisasi. Namun, saya percaya bahwa sudut pandang semacam itu tidak relevan untuk mencari Tao. Karena seberapa jauh atau seberapa dalam seseorang telah berjalan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat internal yang hanya bisa dijawab oleh si praktisi. Saya akhirnya percaya bahwa tidak mungkin untuk mengukur kedalaman setiap orang dengan apa yang mereka jalani dengan menggunakan satu standarisasi tetap."
 ***
Pada tanggal 14 Januari tahun ini (2001) saya di promosikan ke tingat Dan 8 pada peringatan Kagami-biraki oleh Hombu dojo. Pada tanggal 3 Juni, diadakan sebuah pesta untuk merayakan promosi tersebut. Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada semua pihak yang membantu menyiapkan pesata perayaan dan juga kepada setiap orang yang hadir. Saya sampaikan juga rasa terima kasih saya untuk ucapan selamat dan hadiahnya.
 
Sistem jenjang kenaikan tingkat yang ada saat ini berdasarkan pada peraturan yang diterapkan pada tanggal 1 April 1989 oleh Aikido Hombu Dojo. Ada 8 tingkatan, mulai dari Dan 1 hingga Dan 8, yang diberikan oleh Doshu berdasarkan kemampuan secara umum dalam Aikido dan juga prestasi dan kontribusi terhadap aikido. Tingkatan bisa dicapai melalui ujian ataupun rekomendasi. Kualifikasi terhadap orang-orang yang menguji dan mengikuti ujian, atau memberi atau menerima rekomendasi, dan prosedur-prosedurnya telah ditentukan.
 
Namun, dengan aikido yang sekarang ini telah menyebar ke lebih dari 80 negara, maka sangat sulit untuk memastikan bahwa setiap kelompok memahami dan melaksanakan sistem kenaikan tingkat secara benar. Dengan menanggalkan kesan saya yang telah mendapatkan tingkat tertinggi di dalam sistem yang baru, saya ingin mengemukakan pemikiran saya tentang tingkatan-tingkatan yang saya miliki melalui latihan. Hingga saat ini, berulangkali saya menyatakan bahwa saya menjalani aikido sebagai “Tao (jalan hidup)”. Mencari Tao adalah pencarian ke dalam, dan apa yang akhirnya saya tahu melalui latihan aikido adalah bahwa Tao adalah untuk tetap berjalan dengan sikap batin tunggal. Bahkan, tiada batas untuk kedalaman yang bisa dicapai. Seseorang mungkin menunjuk kepada sesuatu yang nampak seperti sebuah tujuan, namun karena jalurnya akan berbeda-beda pada tiap orang, mungkin tujuan tersebut tidaklah berlaku benar untuk setiap orang. Bolehlah dikatakan, mungkinkah ada tujuan akhir?
 
Kenaikan tingkat adalah sebuah alat untuk mengevaluasi kemampuan seseorang dan kemajuannya secara obyektif dengan satu set standarisasi. Namun, saya percaya bahwa sudut pandang semacam itu tidak relevan untuk mencari Tao. Karena seberapa jauh atau seberapa dalam seseorang telah berjalan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat internal yang hanya bisa dijawab oleh si praktisi. Saya akhirnya percaya bahwa tidak mungkin untuk mengukur kedalaman setiap orang dengan apa yang mereka jalani dengan menggunakan satu standarisasi tetap.
 
Saya telah berlatih aikido selama 40 tahun. Melihat ke belakang pengalaman berlatih saya, di sepanjang periode ini, saya telah bertemu banyak guru mulai dari O’sensei, telah diajari banyak hal, membaca banyak buku, dan banyak belajar. Ketika saya awal belajar aikido, saya berlatih hanya dengan pemikiran untuk menjadi lebih kuat. Pada saat itu, menjadi kuat berarti harus belajar teknik dan menguatkan tubuh saya. Namun, perlahan-lahan saya mempertanyakan cara berpikir dan berlatih seperti ini. Untuk memecahkan masalah ini saya mulai membaca buku-buku tentang Zen dan Budo.
 
Diantaranya adalah naskah China tentang taktik bela diri, “Liutao”. Dari bab yang berjudul “Hujuan” (“Bab Macan”) sebagai berikut:
  • Jika datang, temui saja;
  • jika pergi, antarkan ke jalannya
  • Jika dilawan, selesaikan
  • 5 ditambah 5 adalah 10
  • 2 ditambah 8 adalah 10
  • 1 ditambah 9 adalah 10
  • Seperti persamaan tersebut, selaraskan
  • Lihat permasalahan secara mendalam dan rasakan yang tersembunyi
  • Yang besar ada dimana-mana, yang kecil benar-benar kecil
  • Hidup dan mati hanyalah masalah kesempatan
  • Perubahan bergantung pada saat
  • Jangan gundah dan bingung
 
Saya memahami naskah ini sebagai berikut. Padukan semua pertemuan yang melawan ke dalam keselarasan. Jika ini bisa dilakukan, ini akan menjadi hal yang sangat kuat. Untuk itu, ketahui apa yang besifat jelas dan yang tersembunyi (yin dan yang), dan berfikirlah bahwa yang besar adalah besar tak terbatas, dan yang kecil adalah kecil tak terbatas. Membunuh dan bertahan hidup, maju dan berputar, semuanya bersifat serta merta. Bahkan jika menghadapi segalanya secara langsung, maka perlu dijaga sikap batin (kokoro) yang tangguh dan tak bergeming (diam).
 
Saat itu, saya telah berlatih gaya yang lembut, namun untuk memahami dam mewujudkan kata-kata ini dalam tindakan, saya mulai mencoba memfokuskan perhatian saya pada “saat sekarang-nya” (dari suatu tindakan), pada setiap momen, serta secara tepat menangkap pertemuan (de ai) dengan rekan latihan, memberi respon sambil merasakan tenaga dan ki rekan latihan saya. Ketika saya berlatih semacam ini, ketika saya melihat ke dalam diri saya sendiri (pada awalnya hal seperti itu hanya kadang-kadang), saya memperhatikan bahwa saya bergerak dengan rekan latihan saya secara tidak terbatas, tidak memaksa namun alami, mengalir begitu saja, tak seperti yang pernah saya alami sebelumnya.
 
Sambil berlatih dengan cara ini, saya juga melihat kembali cara berfikir dan apa yang saya tahu (saya pikir) sebelumnya. Saya berkesimpulan bahwa dengan tidak bergantung pada kekuata fisik, melempar jauh ego, dan bergerak secara lembut dan luwes, orang bisa secara intuitif, konkrit, secara langsung merespon momen “sekarang” dan berpadu (selaras) dengan rekannya.
 
Di bab Kosmos 11, saya menulis, “ide Tao (Do) menunjukkan penggabungan hal-hal yang berlawanan dan integrasi keragaman. Ide Tao menekankan pentingnya kemanunggalan segala sesuatu, sementara hal-hal yang telah tersatukan, bersifat universal, dan absolut memiliki prioritas terhadap segala sesuatu. Karena menjalani aikido dari sudut pandang Tao, pemikiran saya meluas dari manusia ke masyarakat, dari masyarakat ke Bumi, dan dari Bumi menuju alam semesta".
 
Gangguan dan kekacauan tak akan pernah hilang dalam masyarakat. Namun manusia mencoba untuk keluar dari masyarakat semacam itu, memperdalam isolasi mereka, dan belajar rasa tidak aman. Maka, kita mencari kekuatan dalam bentuk satu atau bentuk lainnya, dan bergantung kepada bentuk kekuatan tersebut. Namun, segala sesuatu di sekitar kita menetap “sebagaimana adanya” dan berjalan “dengan alamiah”. Ini bukan merupakan akibat dari kekuatan khusus yang membuatnya seperti itu.
 
Apa yang kita lihat sebagai hal yang berlawanan, yang kita lihat sebagai besar atau kecil, hal yang berbeda – semuanya sama dan saling mengasuh satu sama lain.
 
Untuk tidak menggunakan kekuatan, untuk menyusun yang berlawaan dan berbeda agar teratur, namun menghadapi dan memahami segala sesuatu seperti apa adanya, manunggal – ini adalah ide Tao. Oleh sebab itu, mencari Tao adalah memisahkan kedirian dari semua bentuk kekuatan, menemukan jati dirinya sendiri, dan berjalanlah. Kekuatan dan tingkatan tidaklah perlu untuk usaha mencari Tao. Orang yang belajar aikidosebagai Tao tidak seharusnya melihat tingkatan mereka sebagai sesuatu yang membawa kekuatan untuk tempat bergantung, namun hanya sebagai tanda tentang posisi mereka dalam lingkaran aikido dan hanya sebagai konfirmasi akan jejak langkah terdahulu pengalaman mereka. (Juli 2001).
 
***
 
Sumber naskah http://www.aikidojournal.com/blog/2010/01/11/thinking-about-dan-by-seishiro-endo/
    http://homepage3.nifty.com/aikido_sakudojo/Shihan17E.html
Sumber gambar
: http://homepage3.nifty.com/aikido_sakudojo/Shihan17E.html
Judul asli
Thinking About "Dan" From "Dô (Tao)"
Karya
: Endo Seishiro Shihan (Dan 8 Aikikai) 
Penerjemah
: Daniel Nishima - English;  B.A - bahasa Indonesia  

Minggu, 22 April 2012

Adab Berdzikir - 2

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Mereka juga sepakat, bahwa wajib bagi seorang murid untuk berdzikir dengan keras sekuat mungkin. Sebab dzikir secara pelan (sirri) dan lemah lembut tidak akan memberi manfaat kepada sang murid untuk bisa naik ke tingkatan yang lebih tinggi.

Mereka mengatakan: Wajib bagi seorang murid dalam menempuh cara yang lebih cepat terbuka mata hatinya, hendaknya bacaan La Ilaha IllaLlah naik dari atas pusar, kemudian menuju ke nafsu yang terletak di antara dua lambung, kemudian menyambungkannya dengan hati (jantung) yang ada di antara tulang dada dan pencernaan, dan menolehkan kepalanya ke arah kiri dengan disertai kehadiran hati yang maknawi di dalamnya.

Mereka mengatakan: Keras dalam berdzikir hendaknya dengan cara yang lembut, karena dikhawatirkan terjadi keretakan dalam perut dan semakin membengkak, sehingga mengakibatkan tidak bisa berdzikir dengan keras sama sekali.

Orang yang berdzikir hendaknya berhati-hati dalam melafalkan kalimat Tauhidy La Ilaha IllaLlah ini, jangan sampai terjadi salah ucap. Karena kalimat ini bersumber dari al-Qur’an. Maka harakat Lam yang ada pada La Nafi dibaca panjang secukupnya, Hamzah yang ber-kasrah dibaca dengan jelas tanpa dipanjangkan sama sekali, kemudian Lam setelahnya pada lafal Ilah dibaca panjang dengan mad thabi’i, dan Ha’ yang jatuh setelahnya dibaca fathah tanpa dibaca panjang. Kemudian Hamzah yang ada pada istisna’ di-kasrah dengan dibaca ringan tanpa dipanjangkan, dan Lam Alif setelahnya juga tidak dipanjangkan. Dan lafal Jalalah (Allah) Lam-nya dipanjangkan dan berhenti pada Ha’ dengan di-sukun bila di-waqaf-kan. Demikian pula hendaknya tidak memanjangkan huruf Ha’ dari lafal Ilah, yang akibatnya mengubah bacaan al-Qur’an. Demikian pula mengucapkan huruf Ha’ pada lafal Jalalah (Allah) hendaknya tidak dibaca panjang, yang akan memunculkan huruf wawu.

Tuan Guru Ali bin Maimun, guru dari Tuan Guru Muhammad bin Iraq mengatakan: “Kesalahan baca ini telah dilakukan oleh kaum fakir (sufi) non-Arab dan Romawi. Sementara mengikuti sunah Muhammad Saw. dan ulama salaf adalah yang diharuskan.”

Tuan Guru Yusuf al-‘Ajami mengatakan: Adab dzikir yang telah mereka sebutkan adalah untuk orang yang berdzikir secara sadar. Sedangkan orang yang berdzikir di luar kontrol kesadaran maka dzikirnya bersamaan dengan warid (rahasia-rahasia yang datang ke dalam hatinya), sehingga kadang-kadang lidahnya berucap lafal:

Allah atau Huwa atau La atau Ah atau Aa atau Aa atau suara tanpa huruf atau ngawur. Maka adabnya dalam kondisi di luar kontrol kesadaran ini adalah pasrah terhadap warid yang datang. Apabila warid itu habis maka adabnya adalah diam tanpa berbicara apa pun.

Adab-adab sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh orang yang berdzikir dengan lisan. Sementara orang yang berdzikir dengan hati maka adab-adab tersebut tidak harus dilakukan.

Adapun tiga poin adab yang dilakukan setelah berdzikir adalah sebagai berikut:

Diam tanpa bicara setelah ia tenang, khusyu’ dengan hati yang hadir, memperhatikan warid dzikir yang mungkin datang sehingga pada saat itu warid yang memenuhi wujudnya lebih banyak daripada apa yang dipenuhi oleh mujahadat (perjuangan spiritual) riyadhat (latihan spiritual) selama tiga puluh tahun. Barangkali yang datang adalah warid zuhud, sehingga ia menjadi orang yang zuhud, atau warid mampu memikul beban disakiti orang lain sehingga menjadi penyabar, atau warid takut kepada Allah sehingga menjadi orang yang takut kepada-Nya, demikian seterusnya.

Imam al-Ghazali mengatakan: Pada saat diam tanpa bicara ini memiliki beberapa adab, antara lain: Pertama, seorang hamba menghadirkan hatinya, sehingga ia merasa bahwa Allah senantiasa melihatnya dan ia sedang berada di depan-Nya; Kedua, memusatkan semua inderawi sekiranya tidak ada satu bulu rambut pun yang bergerak, seperti kondisi seekor kucing yang mau menerkam seekor tikus; Ketiga, menghilangkan semua bisikan diri dan mengalirkan makna Allah, Allah pada hati.” Kemudian al-Ghazali mengatakan: “Seorang yang berdzikir tidak akan membuahkan muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) kecuali disertai dengan adab-adab tersebut.”

Hendaknya mencela dirinya kira-kira tiga sampai tujuh pernafasan atau lebih, sampai seluruh warid yang ada bisa beredar ke seluruh alam dirinya, sehingga mata hatinya bisa bersinar, bisikan-bisikan diri dan setannya bisa terputus darinya, dan semua hijab bisa tersingkap. Ini semua wajib dilakukan menurut istilah mereka.

Tidak diperkenankan minum air dingin setelah berdzikir. Sebab dzikir bisa mengakibatkan terbakar, gejolak, dan kerinduan yang membara kepada Yang selalu disebut dan diingat (Allah), yang merupakan tujuan terbesar yang ingin dicapai dari dzikir. Sementara minum air bisa memadamkan panasnya gejolak dan membaranya kerinduan tersebut. Maka seorang yang berdzikir hendaknya selalu memperhatikan dan berusaha melakukan tiga adab ini. Karena buah dari berdzikir akan tampak dengan tiga adab ini. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

Buah dan Talqin Dzikir Secara Umum
Perlu anda ketahui, bahwa talqin dzikir memiliki buah secara umum dan juga buah secara khusus. Sedangkan dari masing-masing buah terdapat tokohnya sendiri-sendiri.

Maka buah yang bersifat umum, setelah seseorang di-talqin dzikir, maka ia akan menjadi bagian dari suatu lingkaran, seakan-akan menjadi rangkaian dari lingkaran rantai besi. Apabila ia bergerak karena ada suatu masalah, maka bagian dari rangkaian yang lain juga ikut bergerak. Sebab antara masing-masing orang yang diberi mandat mulai dari Rasulullah Saw hingga orang yang bersangkutan merupakan satu rangkaian dari silsilah. Ini berbeda dengan orang yang tidak mendapatkan talqin (bimbingan) dzikir secara lisan dari para guru, maka ia seperti bagian dari rangkaian yang terpisah. Apabila ia bergerak karena ada satu masalah yang menjadi beban, maka tidak ada seorang pun yang bergerak untuk membantunya, karena tidak ada hubungan antara dia dengan yang lain.

Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi berkata: Talqin (bimbingan dzikir secara lisan) seorang guru kepada murid ibarat sebutir benih yang ditanam di tanah gersang, yang pengairannya hanya bergantung dengan turunnya hujan. Maka hasil produksi, perkembangan, dan berseminya daun sangat bergantung pada kesanggupannya menyerap air dalam kadar banyak atau tidaknya sesuai dengan pengairan yang ada, dan bukan bergantung pada seorang guru yang menanam benih. Seorang guru hanya memiliki benih yang siap ditanam, sedangkan yang berhak menumbuhkan adalah al-Haq Swt.

Bisa jadi seorang guru menanamkan benih pada bumi seorang murid, lalu ia tumbuh tapi kemudian mati. Maka buah yang bisa dituai bisajadi nanti di tangan seorang guru lain setelahnya. Ini bisa jadi karena lemahnya semangat sang murid atau karena makna-makna dzikir tidak mampu menguasai dan mempengaruhi hati dan lisannya secara terus-menerus. Kaum sufi mengatakan: Sesungguhnya pengaruh dzikir setelah di-talqin seperti pengaruh hujan terhadap benih setelah ditanam. Karena hal itu pula yang bakal mempengaruhi terbukanya mata hati dan hasil produksi.

Maka bisa dimengerti, bahwa seorang murid setelah di-talqin tidak cukup hanya menghadiri majelis dzikir bersama kaum sufi yang lain di pagi dan sore hari, sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan murid di zaman ini. Sebab buah dari dzikir seperti itu hanya seperti orang yang meneteskan setetes air pada benih yang ditanam di saat pagi hari dan setetes air lagi di sore hari. Sementara angin dan terik matahari dalam rentang waktu pagi hingga sore sudah menghabiskan tetesan air tersebut. Hal itu tidak akan bisa membasahi bumi yang ditanami benih, bahkan bisa jadi tetesan air itu tidak bisa sampai ke benih, sehingga benih ini butuh waktu lama untuk bisa terbuka. Dan bisa jadi ia sudah mati dan belum ada tanda-tanda untuk terbuka.

Barangkali murid seperti ini hanya akan bisa menyalahkan guru yang men-talqin-nya, kemudian ia mengatakan, “Sebenarnya saya tidak perlu bimbingan dan talqin dari guru ini, karena tidak ada hasil dan manfaatnya bagi diri saya.” Ia tidak paham, bahwa tugas seorang guru hanyalah menanam benih di bumi si murid. Sementara tugas seorang murid adalah memperbanyak dzikir dan berperilaku dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai. Kemudian kalau terbukanya si murid ini terlalu lamban, maka hal itu kembali kepada Allah, dan bukan dialamatkan kepada sang guru. Maka murid yang semangatnya sangat kendor ini ibarat kapas yang digunakan untuk menyulut bunga api pada korek. Apabila kapas itu kering maka percikan bunga api akan segera menyala, tapi kalau kapas itu basah maka seluruh percikan bunga api akan padam. Maka pahamilah!

Kalau seorang murid telah mendapatkan bimbingan dan talqin dzikir dari seorang guru, kemudian ia berbuat maksiat atau berperilaku yang menyalahi kesopanan (adab), maka ia wajib mengulangi pen-talqin-an, agar setan yang ada di dalam dirinya bisa keluar dari sarangnya. Sebab talqin dzikir adalah sarana untuk mengusir setan, sedangkan berperilaku yang menyalahi kesopanan dapat memasukkan setan ke dalam dirinya.

Kami pernah mendengar Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi berkata: “Apabila seorang murid telah mendapatkan talqin, kemudian ia melakukan tindakan yang menyalahi kesopanan, maka ia ibarat sebutir benih yang dimakan ulat, lalu membusuk dan berubah wujud. Setelah itu tidak ada harapan untuk bisa tumbuh dan bersemi, apalagi menghasilkan buah. Akan tetapi benih yang ditanam sang guru tersebut akan rusak secara total.”

Kasus seperti ini banyak dialami oleh para murid di zaman sekarang ini. Tak seorang pun dari mereka yang berusaha memperbarui talqin kepada sang guru. Akhirnya mereka tidak mendapatkan manfaat apa-apa, dan hanya menjadi tubuh yang tak bernyawa, ibarat sebatang kayu yang disandarkan. Maka tidak ada upaya dan kekuatan apa pun selain dengan Allah Yang Maha Agung.



Buah dari Talqin Secara Khusus

Talqin secara khusus adalah talqin suluk (perilaku menempuh Jalan Allah) setelah ia masuk ke dalam lingkaran (anggota) kaum sufi, dimana gambarannya adalah sebagai berikut:

Seorang guru tarekat akan bermunajat dan menghadap kepada Allah Swt. kemudian ketika ia berkata kepada sang murid: “Ucapkan kalimat: Laa ilaa ha illallahu“ maka ia mencurahkan kepada sang murid seluruh ilmu syariat suci yang telah menjadi bagiannya. Setelah sang murid ini mendapatkan talqin, ia tidak perlu lagi menelaah kitab-kitab syariat sampai ia mati.

Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata: “Ketika guruku, Syekh Sari as-Saqathi men-talqin-ku maka beliau mencurahkan seluruh ilmu syariat yang ia miliki kepadaku.”

Al-Junaid juga berkata: “Tidak ada ilmu yang turun dari langit dan Allah menjadikan jalan untuk makhluk menuju ke sana, kecuali Allah juga akan memberiku bagian tertentu untuknya.” Ia juga pernah berkata: “Orang yang hendak menjadi pemimpin dalam pengambilan janji (sumpah), membimbing dzikir (talqin) dan menunjukkan jalan para murid dibutuhkan orang yang benar-benar mendalami ilmu syariat. Sebab setiap gerak-geriknya akan menjadi pertimbangan secara hukum (syariat).”

Kalau di saat ini ada orang yang mengklaim dirinya telah menjadi guru tarekat (sufi) dan kemudian mengatakan, bahwa hal ini tidakmenjadi syarat dalam melakukan talqin dan bimbingan kepada para murid, ini hanya karena ia tidak sanggup melakukannya. Kalau ada guru tarekat seperti ini maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Ini berarti anda telah mengatakan, bahwa para guru tarekat salaf adalah orang-orang bodoh.” Ini banyak terjadi pada orang-orang yang telah mendirikan perguruan tarekat dengan cara yang tidak benar. Sehingga ia mengatakan tentang setiap syarat yang ia lihat pada setiap tingkatan spiritual (maqamat) bukanlah termasuk syarat menjadi guru tarekat yang hendak men-talqin dan membimbing para murid. Hal ini ia katakan demikian, karena ia takut aibnya terbuka di masyarakat. Andaikan ia orang yang berakhlak mulia dan memiliki kesopanan tentu ia akan berkata, “Hal ini aku tidak sanggup melakukannya.” Kemudian ia meminta kepada guru lain yang bisa mengantarkannya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang jujur.

Manfaat Dzikir dan Cara Melakukannya

Perlu anda ketahui, bahwa manfaat dzikir tidak bisa dihitung jumlahnya. Sebab orang yang berdzikir akan menjadi “teman dekat” Allah, yang tidak ada lagi perantara antara dia dengan Allah Swt. Maka tidak ada seorang pun yang tahu, berapa banyak apa yang dipilihkan Allah untuknya dari berbagai ilmu dan rahasia ketika ia sedang berdzikir. Karena ini merupakan hadirat yang tidak seorang pun bisa mendatangi dan memisahkannya tanpa pertolongan Allah Swt.

Maka bisa ditanyakan kepada orang yang mengaku, bahwa saat berdzikir ia bisa hadir dengan sepenuh hati ke hadirat Allah Swt.:

“Apa yang dipilihkan dan diberikan kepada anda di majelis ini?” Kalau ia menjawab, “Kami tidak diberi apa-apa?” Maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Anda adalah orang lain yang tidak mau menghadirkan sesuatu, maka ambil dan jadikan sesuatu (yakni guru) yang bisa menghilangkan berbagai kendala dan halangan dari diri anda untuk bisa hadir dengan sepenuh hati.” Kalau ia belum juga mengambil dan menjadikan seorang guru, maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Maka perbanyaklah dzikir sekalipun tidak bisa hadir sepenuh hati.” Demikianlah sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Kitab al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary, “Janganlah anda meninggalkan dzikir hanya karena anda tidak bisa hadir sepenuh hati dengan Allah. Sebab lupa Allah dengan tidak berdzikir itu lebih parah daripada lupa anda dengan Allah ketika sedang berdzikir.” Semoga Allah meningkatkan anda dari dzikir yang disertai dengan kelengahan hati menuju dzikir yang disertai dengan kesadaran hati, dan kemudian meningkat menjadi dzikir yang disertai dengan kehadiran hati, dan dari dzikir yang disertai kehadiran hati menuju dzikir disertai dengan hilangnya segala sesuatu selain Yang diingat (yakni al-Madzkur, Allah). Dan hal itu bukanlah hal yang berat bagi Allah.

Kaum sufi telah sepakat, bahwa dzikir merupakan kunci segala kegaiban, menarik kebaikan, penghibur orang yang sedang gelisah, dan mandat kewalian. Maka tidak sepantasnya seseorang meninggalkan dzikir sekalipun dengan hati yang lengah. Andaikan bukan karena mulianya dzikir tentu saja kegiatan yang tidak dibatasi oleh waktu, kondisi dan tempat tertentu ini sudah cukup sebagai isyarat kemuliaannya.

Allah Swt berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat (berdzikir) kepada Allah, baik dengan berdiri, duduk maupun sambil berbaring ...“ (Q.S. Ali Imran: 191)

Kaum sufi mengatakan: Tidak ada yang lebih cepat untuk membuka pintu rahmat Allah daripada dzikir. Dimana ia merupakan penyatu dari berbagai kesemerawutan hati orang yang bersangkutan. Apabila dzikir telah menguasai orang yang berdzikir, maka NamaYang diingat akan bercampur dengan ruh orang yang berdzikir, sehingga pernah terjadi pada sebagian orang yang berdzikir, kepalanya terbentur oleh batu, lalu darah yang menetes ke tanah mengukir lafal Allah, Allah.

Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa tidak akan bisa merasakan kedamaian dengan berdzikir kecuali orang yang bisa merasakan kegelisahan akibat lupa Allah. Sementara orang yang sudah terlalu hanyut tidak akan menemukan kedamaian dan kegelisahan. Ia tidak takut binatang buas maupun ular.

Setelah kami sebutkan sekilas tentang manfaat dzikir, maka berikut akan kami sebutkan tentang keutamaan dzikir yang disebutkan pada beberapa Hadis Nabi Saw. Sebab semangat hati akan menjadi kuat dengan melihat beberapa kelebihan dan keutamaan yang disebutkan pada dalil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan para ahli hadis yang lain dengan Hadis Marfu’: “Bolehkah aku memberi tahu kalian tentang amal kalian yang terbaik, yang paling bersih di sisi Tuhan Sang Raja, paling tinggi derajatnya, lebih baik bagi kalian daripada kalian menginfakkan emas dan uang, dan lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh lalu kalian mampu memenggal leher mereka dan mereka juga memenggal leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu! Ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memberi jawaban: “Yaitu dzikir kepada Allah.”

Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’ yang panjang, berikut hanya sebagian dari potongan Hadis tersebut: “Allah Swt. berfirman: ‘Aku berada pada dugaan hambaKu terhadap Diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku’.”

 Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya selalu bergerak karena-Ku.”

 Mu’adz bin jabal r.a. berkata: Terakhir kali ucapan yang pernah kudengar dari Rasulullah, kemudian tidak lama beliau wafat dimana aku sempat bertanya kepada beliau, “Amal apa yang paling disenangi oleh Allah Swt.?” Maka beliau menjawab, “Engkau mati, sementara lisanmu masih basah untuk mengingat Allah.”

Dalam Kitab Sahih disebutkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya segala sesuatu ada alat untuk menggosok hingga mengkilap, dan sesungguhnya alat untuk memengkilapkan hati adalah berdzikir kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu yang lebih bisa menyelamatkan diri dari siksa Allah daripada berdzikir kepada Allah. ” Kemudian para sahabat bertanya, “Bukankah berjihad demi membela agama Allah?” Beliau menjawab, “Dan tidak pula ia mampu memenggal leher musuh dengan pedang hingga terputus.”

Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Kitab Sahihnya, dengan Hadis Marfu’: “Sungguh ada suatu kaum di dunia yang masih berdzikir kepada Allah di atas tempat tidurnya yang terbentang, maka Allah akan memasukkan mereka ke tingkatan-tingkatan tertinggi.”

Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Perumpamaan orang yang selalu berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak pernah mengingat Tuhannya adalah seperti orang hidup dengan orang mati.”

Imam Ahmad dan ath-Thabrani meriwayatkan: Bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, siapa orang yang berjihad demi agama Allah yang paling besar pahalanya?” Maka Rasulullah menjawab, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah, kemudian mengingat shalat, zakat, haji, dan sedekah.” Sementara itu Rasulullah hanya mengatakan, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah.” Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafsh, orang-orang yang selalu mengingat Allah pergi dengan membawa seluruh kebaikan. ” Kemudian Rasulullah menimpali, “Ya, tentu saja.”

Ath-Thabrani meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang disesali oleh penghuni surga kecuali saat-saat yang telah berlalu dimana mereka tidak mengingat Allah Swt.”

Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Barangsiapa tidak mengingat Allah maka ia benar-benar bebas dari iman.”

Syekh Abu al-Mawahib berkata, “Barangsiapa melupakan Allah maka ia benar-benar telah kufur.”

Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan: “Allah Azza wa Jalla berfirman: Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya jika kamu mengingat-Ku berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku, dan jika kamu melupakan-Ku berarti kamu telah kufur kepada-Ku.”

Lupa di sini secara mutlak, baik lupa akibat kelengahan yang terjadi karena kebodohan tentang Allah sehingga ia menyekutukan-Nya, atau lupa karena lengah dan berpaling dan al-Haq, sementara cara yang ditempuh adalah tercela.

Kalau ada pertanyaan, “Mana yang paling bermanfaat antara dzikir sendirian dengan dzikir secara berjamaah?” Maka jawabannya bisa berbeda-beda: Dzikir sendirian tentu lebih bermanfaat bagi orang-orang yang mampu mengasingkan diri dan makhluk (khalwat). Begitu sebaliknya, dzikir secara berjamaah akan lebih bermanfaat bagi mereka yang tidak bisa mengasingkan diri dari makhluk.

Jika anda bertanya: Mana yang paling bermanfaat antara dzikir secara pelan-pelan (sirri) dengan dzikir secara keras? Maka jawabannya adalah, bahwa dzikir secara keras akan lebih bermanfaat bagi para pemula yang hatinya masih belum lunak. Sedangkan dzikir secara sirri akan lebih bermanfaat bagi mereka yang telah suluk dan dikuasai oleh kebersamaan (dengan Allah).

Jika anda bertanya: Apakah perkumpulan untuk berdzikir itu lebih baik ataukah justru tindakan bid’ah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang? Maka kami jawab: Perkumpulan tersebut justru dianjurkan dan disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu ibadah apa yang lebih baik dari ibadah suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, dan dengan dzikir mereka bermunajat kepada-Nya? Jika anda bertanya: Apa argumentasi yang menguatkan, bahwa perkumpulan untuk berdzikir bersama itu lebih baik? Maka kami jawab: Dalil yang menguatkan hal itu adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi dengan Hadis Marfu’: “Setiap kali suatu kaum duduk bersama untuk berdzikir kepada Allah, tentu akan ada malaikat yang mengepungnya, diliputi oleh rahmat dan diturunkan suatu ketenangan, dan Allah akan menuturkan mereka kepada makhluk yang ada di sisi-Nya.”

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya Allah Swt. memiliki para malaikat yang selalu berkeliling untuk mencari orang-orang yang biasa berdzikir. Apabila mereka menemukan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, mereka akan saling memanggil: “Kemarilah pada apa yang kalian perlukan.” Rasulullah melanjutkan kisahnya: ‘Akhirnya mereka mengepung kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka mengarah ke langit dunia.’”

Imam Ahmad meriwayatkan Hadits dan Rasulullah dengan sanad yang baik: “Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridha-Nya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Hendaknya kalian bangkit dengan terampuni dosa-dosa kalian. Sungguh kejelekan kalian telah diganti dengan kebaikan.”

Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah Hadis Marfu’ dengan sanad yang baik dan yang searti dengan Hadits di atas: “Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridhaNya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Jika kalian lewat di pertamanan surga maka merumputlah!” Kemudian para sahabat bertanya: “Apa yang dimaksud pertamanan surga wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab: “Yaitu lingkaran manusia ketika sedang berdzikir.”

Ibnu Hibban meriwayatkan Hadis Marfu’ dalam Kitab Sahihnya: ‘Allah Swt. berfirman: Bakal diketahui Ahlul Jam’i (orang-orang yang biasa berkumpul) dengan Ahlul Karam (mereka yang dermawan). Kemudian Rasulullah ditanya, Siapa Ahlul Karam itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka orang-orang yang biasa berdzikir di mesjid-mesjid. Maka berdzikirlah kepada Allah sehingga orang-orang mengatakan, ‘Ia orang gila’.”

Abu Dawud meriwayatkan: “Sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Subuh hingga terbit matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang budak dari anak cucu Ismail. Dan sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Asar hingga terbenam matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang budak.”

Para ulama mengatakan: Rasulullah mengkhususkan anak cucu Nabi Ismail a.s., karena memerdekakan seorang budak dari keturunan Ismail a.s. nilainya sama dengan memerdekakan dua belas orang budak selain keturunan Ismail.

Imam Alimad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa keuntungan dari majelis-majelis dzikir?” Beliau menjawab, “Keuntungan dari majelis dzikir adalah surga.”

Syekh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan: Hadits ini dan yang semisal disamakan dengan tingkatan perintah. Sebab setiap perbuatan yang dipuji oleh Sang Pembuat syariat atau pelakunya dipuji karena perbuatan tersebut atau dijanjikan dengan kebaikan, baik sekarang maupun yang akan datang, maka perbuatan tersebut diperintahkan. Hanya saja perintah ini ada pilihan antara wajib dan sunah (dianjurkan).  Sementara Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak.

Para ulama, baik salaf maupun khalaf telah bersepakat dalam menganjurkan dzikir kepada Allah Swt. secara berjamaah, baik di mesjid maupun di tempat-tempat yang lain. Kesepakatan ini tidak ada seorang pun dari mereka yang menentangnya. Kecuali bila kegiatan dzikir mereka bisa mengganggu ketenangan orang yang sedang tidur atau orang yang sedang shalat atau membaca al-Qur’an dan lain-lain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab fikih.

Imam al-Ghazali menyamakan dzikir seorang diri dan dzikir secara berjamaah dengan adzan sendirian dan adzan secara bersama, dimana ia mengatakan: “Sebagaimana suara orang-orang yang berazan secara bersama akan lebih menggema di angkasa daripada suara adzan sendirian. Maka berdzikir secara berjamaah dengan satu hati tentu lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab (tabir) daripada berdzikir seorang diri.”

Adapun masalah pahala yang mereka dapatkan ketika sedang berdzikir secara berjamaah, maka masing-masing orang akan mendapatkan pahala dan dzikirnya dan pahala dan mendengar dzikir temannya.

Sementara alasan yang menguatkan tentang dzikir dengan berjamaah akan lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab, adalah karena al-Haq Swt. telah menyamakan hati dengan batu yang keras. Sebagaimana yang kita maklumi, bahwa batu besar sulit dipecahkan kecuali dengan kekuatan bersama yang berpadu dalam satu hati. Sebab kekuatan bersama akan lebih dahsyat daripada kekuatan seorang diri. Oleh karenanya, mereka menyanatkan dalam berdzikir harus dengan kekuatan yang optimal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt., “Kemudian setelah itu hati meneka mengeras bagaikan batu, atau justru lebih keras daripada batu, (Q.S. al-Baqarah: 74). Sebagaimana batu tidak bisa dipatahkan kecuali dengan kekuatan yang dahsyat. Maka demikian pula dzikir tidak mampu mengumpulkan kesemerawutan hati yang bersangkutan kecuali dengan kekuatan yang optimal.

Kalau ada pertanyaan: Dzikir manakah yang terbaik antara La Ilaha IllaLlah atau ditambah dengan : “MuhammadurRasulullah” (Muhammad Utusan Allah)? Maka jawabannya:

Dzikir yang terbaik bagi orang-orang yang menempuh jalan Allah (para salik) adalah La Ilaha IllaLlah tanpa ditambah dengan “Muhammadun-Rasulullah“, sampai berhasil adanya kebersamaan dengan Allah Swt. di dalam hatinya. Ketika kebersamaan ini telah terjadi pada hati seseorang maka dzikir yang terbaik ditambah dengan Muhammadun-Rasulullah. Sebab dzikir Muhammad Rasulullah adalah sebuah pengakuan (ikrar), sedangkan pengakuan bisa hanya sekali dalam seumur hidup. Dan tujuan mengulangulang kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah memperbanyak penyingkapan terhadap hijab-hijab nafsu, disamping juga mengucapkan kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” benanti menunaikan perintah Rasulullah yang pernah mengatakan: “Ucapkan kalimat, ‘La Ilaha IllaLlah,’” ini berarti sekaligus menetapkan dan mengakui tentang kerasulannya. Oleh karenanya, dalam sebagian riwayat hanya menyebutkan dengan kalimat “La Ilaha IllaLlah” dimana Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan kalimat: ‘La Ilaha IllaLlah (tiada Tuhan yang haq selain Allah).’ Apabila mereka telah mengucapkannya, berarti mereka benar-benar telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali yang menjadi hak Islam dan perhitungannya kepada Allah.”

Dalam riwayat ini Rasulullah tidak mengatakan: “Muhammadur-Rasulullah (Muhammad Utusan Allah.)” Sebab kesaksian ini juga mengandung kesaksian akan kerasulannya.

Kalau ada pertanyaan: Mana yang terbaik antara dzikir dengan membaca al-Qur’an, dimana membaca al-Qur’an merupakan dua kegiatan ritual sekaligus, yakni membaca dan juga dzikir? Maka jawabannya: Dzikir adalah lebih baik bagi murid, dan membaca al-Qur’an lebih baik bagi orang yang sudah sempurna yang mampu mengetahui keagungan Allah Swt. Sementara yang kami maksud dzikir dan membaca al-Qur’an di sini tidak terikat dengan waktu. Akan tetapi kalau terikat dengan waktu dan kondisi maka dzikir akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya dari membaca al-Qur’an, juga akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya.

Syekh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan: “Suatu ketika membaca al-Qur’an menjadi lebih utama daripada dzikir, dan suatu ketika berdzikir juga akan lebih utama daripada membaca al-Qur’an.” Ia melanjutkan: “Para ulama telah berbeda pendapat tentang mana yang terbaik antara ucapan seorang hamba: Allah, Allah, Allah ... ataukah “La Ilaha IllaLlah”? Maka sebagian kaum sufi berpendapat, bahwa berdzikir dengan lafal Jalalah (Allah, Allah, Allah ...) adalah lebih baik bagi para pemula. Sementara itu sebagian besar kaum sufi, para ahli hadis dan para ahli fikih telah berpendapat, bahwa berdzikir dengan kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah lebih baik bagi para pemula dan orang-orang yang telah sampai pada tujuan. Dan ada pula sebagian kaum sufi yang berpendapat, bahwa kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah dzikir bagi para pemula, sedangkan kalimat Allah, Allah, Allah adalah dzikir orang-orang yang telah mencapai tujuan. Masing-masing dari mereka yang berpendapat demikian memiliki argumentasi sendiri-sendiri.

Adapun sanad kaum sufi tentang mengenakan serpihan kain (khirqah) kepada murid adalah sebagaimana yang kami riwayatkan dan al-Hafizh Dhiya’uddin al-Maqdisi, al-Hafizh Ibnu Musdi, dan al-Hafizh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, bahwa Hasan al-Bashri dan Uwais al-Qarni mengenakan serpihan kain kepada sahabatnya. Sementara Hasan al-Bashri menceritakan, bahwa ia mengenakan serpihan kain dari tangan Ali bin Abu Thalib r.a., sedangkan Uwais al-Qarni memberitahukan bahwa ia mengenakannya dari tangan Umar bin Khaththab r.a. dan Ali bin Abu Thalib. Sedangkan kedua sahabat ini mengenakannya dari tangan Rasulullah Saw., dan Rasulullah sendiri dari tangan Jibril a.s. dengan perintah dari Allah Azza wa Jalla.

Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa sebagian ahli hadis tetap membantah kesahihan sanad mengenakan serpihan kain ini dari sisi persambungan sanadnya pada setiap generasi, sampai akhirnya muncul Syekh Jalaluddin as-Suyuthi yang kemudian menyatakan, bahwa sanad mengenakan serpihan kain ini sahih, yang jalur sanadnya mengikuti para huffazh hadis. Sedangkan Hasan al-Bashri sendiri sempat mendengar dan bertemu dengan Ali r.a. — sebagaimana yang telah kami jelaskan di muka dalam menjelaskan sanad talqin kaum sufi.

Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi pernah mengenakan serpihan kain ini kepada sang murid sembari mengatakan: “Ini aku lakukan hanya karena mengambil berkah dengan apa yang dilakukan para salaf Sedangkan aku sendiri tidak menemukan dalilnya.” Ia menyebutkan pada bab kedua puluh lima dan Kitab al-Futuhat, sebagai berikut: ‘Aku tidak bisa mengatakan tentang pendapat mengenakan serpihan kain yang dilakukan oleh kaum sufi. Aku mengetahui serpihan kain ini hanya sebatas untuk persahabatan dan adab, bukan yang lain. Oleh karenanya, mengenakan serpihan kain ini tidak ditemukan sanadnya bersambung dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi ketika aku bertemu dengan Khidhir a.s. di Mekkah dan aku melihatnya mengenakan pakaian ini kepada para wali, maka sejak saat itu aku bisa mengatakan suatu pendapat tentang pakaian simbolis ini. Akhirnya aku mengenakannya dari tangan Khidhir yang waktu itu aku berada di sudut Hajar Aswad. Akhirnya setelah itu aku juga mengenakannya kepada para murid. Demikian pula dalam beberapa kesempatan lain aku pernah mengenakannya dari tangan Isa a.s.” Lebih lanjut ia mengatakan:

“Sedangkan rahasia dalam mengenakan pakaian simbolis ini, adalah ketika seorang guru ingin menyempurnakan tingkatan spiritual si fakir (murid), sedangkan sang guru dalam kondisi spiritual ekstase yang tak terkendalikan, maka ia akan mencabut pakaian yang sedang ia kenakan kemudian dikenakan pada sang murid yang ingin disempurnakan tingkatan spiritualnya. Akhirnya kondisi sang guru yang pada saat itu telah memuncak akan menular kepada sang murid. Akhirnya kondisi spiritual sang murid akan menjadi sempurna dalam akhlaknya.” Maka pakaian simbolis yang dikenal di kalangan kaum sufi ini ibarat sebuah mahkota dari seorang raja. Adapun orang yang mengenakannya tidak dalam kondisi spiritualnya memuncak maka ia hanya berusaha meniru dan mencari berkah dengan kaum sufi salaf dan bukan yang lain.

Jika sekarang anda telah tahu, maka aku ingin mengatakan — dan hanya Allah yang akan memberi pertolongan:

Syekh al-Mursi, Abu al-Abbas — rahimahumullah — mengatakan:

‘Wajib bagi seorang (guru) yang hendak mengenakan serpihan kain kepada para murid dengan cara suluk untuk menjelaskan orang-orang yang menjadi silsilah (sanad)nya. Sebab pada saat ini hal itu merupakan suatu riwayat. Sedangkan riwayat harus dijelaskan dan ditentukan orang-orang yang menjadi sanadnya. Sedangkan orang-orang yang melakukan hal itu karena jaddah Ilahiah (kondisi di luar kesadaran karena tertarik oleh magnet Ilahi), maka mereka tidak wajib menentukan sanad para guru ketika sedang mengenakan pakaian simbolis ini kepada para murid. Sebab hal itu merupakan hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. dan membukakan mereka dari pancaran anugerah-Nya.”

Jika anda telah tahu, maka saya mengenakan serpihan kain ini dari tangan Tuan Guru Syekh Zakaria al-Anshari, yang dimakamkan lurus dengan wajah Imam asy-Syafi’i yang lurus dengan jendela Syekh Najmuddin al-Khusyani. Hal itu terjadi pada bulan Muharam 914 H. dimana beliau mengenakannya dari tangan Tuan Guru Syekh Muhammad al-Ghamari, dan al-Ghamari mengenakan dari tangan Syekh Ahmad az-Zahid, dan az-Zahid mengenakan dari tangan Syekh Hasan at-Tustari, dimana Hasan at-Tustari mengenakannya dari tangan Tuan Yusuf al-’Ajami, dan Yusuf al-’Ajami mengenakannya dari tangan Syekh Mahmud al-Ashfahani, dan al-Ashfahani mengenakannya dari tangan Syekh Abdush-Shamad an-Nathtari, dan an-Nathtari mengenakannya dari tangan Syekh Najibuddin Ali bin Burghusy, dan Najibuddin mengenakannya dari tangan Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, dan as-Suhrawardi mengenakannya dari tangan pamannya sendiri, Najib as-Suhrawardi, dimana Najib as-Suhrawardi mengenakannya dari pamannya, al-Qadhi Wajihuddin, dan Wajihuddin mengenakannya dari tangan ayahnya sendiri, Muhammad yang lebih terkenal dengan Amawaih, dan Amawaih mengenakannya dari tangan Syekh Ahmad ad-Dinawari, dan ad-Dinawari mengenakannya dari tanganAbu al-Qasim al-Junaid, dan al-Junaid mengenakannya dari tangan Abu Ja’far al-Haddad, dan al-Haddad mengenakannya dari tangan Abu Amr al-Ushthuhri, dimana al-Ushthuhri mengenakannya dari tangan Saqiq al-Balkhi, dan al-Balkhi mengenakannya dari Ibrahim bin Adham, dan Ibrahim bin Adham mengenakannya dari tangan Musa bin Yazid ar-Ra’i, dan ar-Ra’i mengenakannya dari tangan Uwais al-Qarni, dan Uwais al-Qarni mengenakannya dari tangan Umar bin Khaththab dan Ali bin Abu Thalib, ketika keduanya diperintah oleh Nabi Saw untuk bertemu dengannya.

Sementara itu Umar bin Khaththab r.a. dan Ali bin Abu Thalib mengenakannya dari tangan Rasulullah Saw, sedangkan Rasulullah Saw mengenakannya dari jibril a.s. dan jibril mengenakannya atas perintah Allah Azza wa Jalla. Ini sebagaimana yang saya lihat dalam Risalah Syekh Abdurrahman al-Qaushi, murid dari Abu Abdillah al-Qurasyi, dimana ia meriwayatkan dengan sanad yang sambung sampai dengan Rasulullah Saw, “Bahwa pada saat Isra’ Mi’raj Rasulullah Saw melihat sebuah peti dan cahaya (nur) lalu peti itu dibuka olehJibril. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa lembar serpihan kain berwarna merah, hijau, dan hitam. Kemudian Rasulullah bertanya kepada jibril, ‘Apa ini wahai Jibril ?“ Maka Jibril menjawab, “Ini adalah serpihan-serpihan kain untuk umatmu yang khusus.” Dalam Risalah tersebut saya hanya menemukan ini, dan tidak ada yang lain. Maka segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemelihara alam. Mukadimah dari buku ini selesai sudah, dan kita akan segera pada bab berikutnya.

source: www.sufinews.com

Adab Berdzikir - 1

Berdzikir mempunyai adab-adab tertentu, baik  sebagai penghantar, sesudah, atau ketika peiaksanaannya. Ada adab yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.

Adab Pengantar
Sebelum meiaksanakan dzikir, sebaiknya sang salik terlebih dulu bertobat, membersihkan jiwa dengan riyadhoh (olah) rohani, melembutkan sirr (batin) dengan menjauhkan dan dengan kaitan hati dengan makhluk, memutuskan segaia penghaiang, memahami ilmu-ilmu agama, dan mempelajari syarat rukun dalam fardlu 'ain, mempertegas tujuan-tujuuan luhur sebagai spirit tahapan utamanya, yang bersifat syar'i. Ia juga harus memilih dzikir yang sesuai dengan kondisi batinnya.
Seteiah itu, barulah ia berdzikir dengan tekun dan terus menerus.
Di antara adab yang perlu diperhatikan yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang halal, suci, dan wangi. Kesucian batin bisa terwujud dengan memakan makanan yang halal. Dzikir  waiau pun bisa melenyapkan bagian-bagian yang berasal dari makanan haram, tetapi manakaia batinnya sudah kosong dari yang haram atau syubhat, maka dzikir tersebut akan lebih mencerahkan qalbu.

Namun, jika dalam batinnya masih terdapat sesuatu yang haram, ia terlebih dahulu akan dicuci dan dibersihkan oleh dzikir. Pada kondisi tersebut, fungsi dzikir sebagai penerang qalbu menjadi sifatnya lebih lemah. Ibarat air yang dipergunakan untuk mencuci sesuatu yang terkena najis, najisnya akan hilang. Tetapi, pada saat yang sama ia tak bisa membuat benda yang terkena najis tadi menjadi lebih bersih.
Oleh karena itu, sebaiknya ia dicuci uiang sehingga ketika benda yang dicuci itu teiah bersih dari najis, ia akan bertambah cemerlang dan bersinar ketimbang saat dicuci pertama kali. Demikian puia saat dzikir turun ke dalam qalbu. Kaiau qalbu tersebut geiap, dzikir akan membuatnya terang. Tetapi, kaiau qalbu tersebut sudah terang, dzikir akan membuatnya jauh lebih terang.

Adab Penyerta
Ketika dzikir dilaksanakan hendaknya disertai niat ikhlas. Majelis tempat dzikirnya diberi aroma wewangian untuk para maiaikat dan jin. Ketika duduk hendaknya bersila menghadap kibiat, biia berrdzikir sendirian. Tetapi, kaiau bersama-sama, hendaknya ia berdzikir dalam lingkungan majelis. Seianjutnya telapak tangannya diletakkan di atas paha dan matanya dipejamkan seraya terus menghadap ke depan.
Sebagian Ulama berpandangan, jika ia berada di bawah bimbingan seorang syekh (Mursyid), ia membayangkan sang syekh sedang berada di hadapannya. Sebab, ia adalah pendamping dan pembimbing dalam meniti jalan rohani. Selain itu, hendaknya qalbu dan dzikirnya itu dikaitkan dengan orientasi sang syekh disertai keyakinan bahwa semua itu bersambung dan bersumber dari Nabi saw. Sebab, syekhnya itu merupakan wakil Nabi saw.

(Namun sejumlah Ulama Thariqah Sufi melarang membayangkan wajah syeikh, karena apa pun seorang syeikh atau Mursyid kategorinya tetap makhluq. Di dalam Al-Qur'an disebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, maka disanalah Wajah Allah." Bukan wajah makhluk. Dikawatirkan pula, jika di akhir hayat seseorang, yang tercetak dalam bayangannya adalah wajah makhluk, para Ulama Sufi mempertanyakan, apakah ia secara hakiki husnul khotimah atau su'ul khotimah? Pent.)
Ketika membaca La Ilaaha Illalloh dengan penuh kekuatan disertai pengagungan. Ia naikkan kalimat tersebut dari atas pusar perut. Ialu, dengan membaca Laa Ilaaha hendaknya ia berniat melenyapkan segaia sesuatu seiain Allah swt, dari qalbu. Dan ketika membaca Illalloh, hendaknya ia menghujamkan ke arah jantung, agar Illalloh tertanam dalam qalbu, kemudian mengalirkan ke seluruh tubuh serta menghadirkan dzikir dalam qalbunya setiap saat.

Menurut sebagian Ulama mengatakan, "Pengulangan dzikir tidak benar, kecuali dengan refleksi makna, selain  makna yang pertama."
Dan tingkatan dzikir yang minimal adalah setiap kali seseorang membaca Laa Ilaaha Illalloh, qalbunya harus bersih dari segala sesuatu selain Allah swt,. Jika masih ada, ia harus segera melenyapkannya. Jika ketika berdzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu selain Allah swt, berarti ia telah menempatkan berhala bagi dirinya.
Allah swt, berfirman, "Tahukah kamu orang yang mempertuhankan hawa nafsunya." (Q.S. al-Furqan: 43) `Janganiah kamu membuat Tuhan selain Allah ." (Q.S. al-Isra': 22). "Bukankah Aku teiah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah syetan." (Q.S. Yasin : 60).

Dalam hadits, Rasul saw juga bersabda, "Sungguh rugi hamba dinar dan sungguh rugi hamba dirham." Dinar dan dirham tidak disembah dengan cara rukuk dan sujud kepadanya, tetapi dengan adanya perhatian qalbu kepada keduanya.

La Ilaaha Illalloh, tidak benar diucapkan kecuali dengan penafian segala hal selain Allah dari diri dan qalbunya. Manakala dalam dirinya masih ada gambaran inderawi, walau seribu kali diucapkan, maka maknanya tidak membekas di qalbu.

Namun, bila qalbu tersebut telah kosong dari hal-hal seiain Allah swt, meskipun hanya membaca kata Allah, satu kali saja, ia akan menemukan kelezatan yang tak bisa diungkapkan.

Syeikh Abdurrahman al-Qana'y mengatakan, " Suatu kali aku mengucapkan La Ilaaha Illalloh , dan tak pernah kembali lagi padaku."
Di kalangan Bani Israel ada seorang budak hitam yang setiap kali ia membaca  La Ilaaha Illalloh, tubuhnya dari kepala hingga kaki-berubah warna putih. Demikianlah, ketika seorang hamba mewujudkan kalimat La Ilaaha Illalloh, sebagai kondisi qalbunya, lisan tak bisa mengaksentuasikan.

Meskipun La Ilaaha Illalloh adalah segala muara oreintasi, ia adalah kunci pembuka hakikat qalbu, seiain akan mengangkat derajat para salik ke alam rahasia.

Ada yang memilih untuk membaca dzikir di atas dengan cara disambung sehingga seolah-olah menjadi satu kata tanpa tersusupi oleh sesuatu dari luar ataupun lintasan pikiran dengan maksud agar setan tak sempat masuk. Cara membaca dzikir seperti ini dipilih dengan melihat kondisi salik yang masih lemah dalam mendaki jaian spiritual akibat belum terbiasa. Seiain terutama karena ia masih tergolong pemula. Menurut para uiama, ini adaiah cara tercepat untuk membuka qalbu dan mendekatkan diri pada Allah swt,.

Menurut sebagian ulama, memanjangkan bacaan La Ilaaha Illalloh  lebih baik dan lebih disukai. Karena, pada saat dipanjangkan, dalam benaknya muncul semua yang kontra Allah, kemudian, semua itu ditiadakan seraya diikuti dengan membaca Illalloh. Dengan demikian, cara ini lebih dekat kepada sikap ikhlas sebab ia tidak mengokohkian sifat Ilahiyah, yaitu walaupun dinafikan dengan Laa Ilaaha secara nyata, sesungguhnya ia telah menetapkan dengan "Illa" keadaannya, namun "Illa" itu sendiri merupakan cahaya yang ditanamkan dalam qalbu yang kemudian mencerahkannya.

Sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, tidak membaca panjang lebih utama. Sebab, bisa jadi kematian datang di saat sedang membaca la ilaha (tidak ada tuhan), sebelum sampai pada kata Illalloh, (kecuali Allah swt,).

Sementara menurut yang iain, biia kalimat tersebut dibaca dengan tujuan untuk berpindah dari wiiayah kekufuran menuju iman, maka tidak membaca panjang lebih utama agar ia lebih cepat berpindah kepada iman. Namun, kalau ia berada dalam kondisi iman, membaca secara panjang lebih utama .

Adab berikut
Manakala sang salik terdiam dengan upaya menghadirkan qalbunya, karena bersinggungan dengan anugerah ruhani dibalik dzikir berupa kondisi ghaybah (kesirnaan diri) paska dzikir, yang juga disebut dengan "kelelapan", maka jika Allah swt, mengirim angin untuk menebar rahmat-Nya berupa hujan, Allah swt, juga mengirim angin dzikir untuk menebar rahmat-Nya yang mulia berupa sesuatu yang bisa menyuburkan qalbu dalam sesaat saja. Padahal, itu tak bisa dicapai meskipun lewat perjuangan ruhani dan riyadhoh tiga puluh tahun lamanya. Adab-adab ini harus dimiliki oleh seorang pedzikir yang dalam kondisi sadar dan bisa memilih.

Sedangkan bagi pedzikir yang kehilangan pilihan karena tidak sadar bersamaan dengan masuknya limpahan dzikir dan rahasia ke dalam dirinya, lisannya bisa jadi mengucapkan kata Allah, Allah, Allah atau Huw, Huw, Huw, Huw, atau La, La, La, atau Aa..Aa..Aa.. atau  Ah, Ah, Ah, atau suara yang berbunyi. Adabnya adalah pasrah total pada anugerah Ilahi yang membuatnya tenang dan diam.

Semua adab di atas diperlukan oleh mereka yang akan melakukan dzikir lisan. Adapun dzikir qalbu tidak membutuhkan adab-adab tersebut.

source: www.sufinews.com