Blogroll

Kamis, 28 April 2011

Seni Beladiri yang Datang dari Hati

Aikido adalah Budo. Banyak orang berpikir bahwa Budo adalah jalan (cara) untuk membela diri atau suatu alat yang dapat dipakai untuk membela diri. Pendapat ini tidak salah, namun juga belum sepenuhnya benar. Jika kita berpikir bahwa Budo hanya sebagai alat untuk membela diri, bahkan hewan pun dapat membela diri mereka dengan menggunakan kemampuan fisik dan naluri (insting). Oleh sebab itu, apabila manusia hanya dapat bergantung kepada kemampuan tubuh dan instingnya saja untuk membela diri, maka dimana perbedaan antara kita manusia dengan hewan? Sebenarnya kita dapat melihat dengan jelas perbedaan manusia dengan hewan, yaitu keberadaan hati nurani dan akal, yang hanya dimiliki oleh manusia. Orang jepang menyebut kedua hal tersebut sebagai Kokoro .

Dengan Kokoro , anda dapat menjadikan jalan peperangan menjadi jalan kedamaian dan keindahan, jalan untuk membunuh menjadi jalan untuk mencintai dan melindungi. Maka Budo bukanlah jalan untuk menghancurkan sesuatu, melainkan jalan untuk mengharmoniskan segala sesuatu di dunia ini. Bagi O Sensei Bu didalam Budo bukan berarti perang melainkan cinta kasih. Maka jelaslah bahwa intisari atau esensi dari ajaran Budo adalah Kokoro .

Budo sejati tidak berdasarkan kepada penampilan fisik dan keahlian/ kemampuan beladiri, karena segala sesuatu yang berasal dari kedua hal tersebut memiliki keterbatasan yang jelas dan sangat bergantung pada hukum relativitas. Sering kali kita membuat penilaian terhadap orang lain, hanya melalui penampilan fisik atau keahlian secara teknis saja. Sering kali kita mengatakan bahwa orang itu kuat atau orang itu lemah, orang itu cepat atau orang itu lambat,dan sebagainya . Itu semua bukan inti dari Budo yang sebenarnya. Budo sejati berdasarkan kepada Kokoro karena Kokoro memiliki batasan yang hanya Tuhan yang tahu, Budo bahkan mampu menampung luasnya alam semesta. Kokoro juga tidak mengenal hukum relativitas. Tidak ada besar, tidak ada kecil, tidak ada kuat, tidak ada lemah, semua nilai dan ukuran di dunia ini merupakan satu bagian dari alam semesta. Semua membentuk keharmonisan tanpa adanya konflik sedikitpun, sesuai dengan yang diperintahkan oleh Sang Pencipta kepada mereka. Ini bagian dari Aiki No Kokoro atau The Spirit of Aiki .

Jiwa sejati dari Budo dan Aiki adalah jiwa universal. Setiap orang dengan tidak bergantung pada keadaan fisiknya dapat mencapai kekuatan sejati dari Budo. Kekuatan sejati tidak datang dari tubuh melainkan dari hati atau Kokoro anda masing-masing. Aikido adalah Kokoro no Budo atau seni beladiri yang muncul dari hati . Setiap teknik yang anda lakukan haruslah berasal dan datang melalui hati atau Kokoro . Tanpa hal ini, maka teknik yang anda lakukan tidak akan hidup , karena teknik tersebut tidak memiliki energi kehidupan atau Ki . Bagaimanapun efektif nya suatu teknik, jika teknik tersebut tidak datang dari hati dan tidak bersandar pada ketulusan, maka hal ini dapat disebut sebagai dead technique . Dapat dikatakan tanpa hati atau Kokoro , maka tidak akan ada Ki . Tanpa Ki maka tidak akan ada Aiki , maka tidak akan ada AIKIDO. Oleh karenanya, Kokoro harus terdapat pada dasar setiap teknik dan tujuan sejati dari setiap latihan Aikido adalah untuk mendidik hati atau Kokoro serta memahami esensi dari Jiwa Aiki atau Aiki No Kokoro.

source: www.aiki-kenkyukai.com

Senin, 25 April 2011

Risalah Ke 4 (Al-Isfar 'an-Nataijil Asfar)


Mereka yang melakukan perjalanan dari Allah terdapat tiga golongan. Pertama : mereka yang dicampakkan, yaitu iblis dan orang-orang yang menyekutukan Allah. Kedua : mereka yang tidak ditolak dan tidak dicampakkan, namun penuh dengan kebimbangan dan keraguan, inilah orang-orang yang bergelimang maksiat, karena mereka tidak mampu singgah dalam keramaian dengan menentang rasa malu yang menguasainya. Dan ketiga adalah perjalanan ujian dan pemilihan, seperti perjalanan para utusan Allah dari-Nya kepada makhluq dan perjalanan kembali para pewaris dan ahli makrifat dari pengembaraanya menyaksikan dunia nafsu dalam kekuasaan, pemerintahan, tipu daya dan rekayasa.

Orang-orang yang berpergian menuju Allah juga terdapat tiga golongan.

Pertama mereka yang menyekutukan Allah, mem-benda-kan-Nya, menyerupakan-Nya dengan mahluk dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak untuk-Nya. Allah telah menegaskan “Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya” (al-Syuura:11). Mereka ini hanya akan sampai kepada “hijab” yang menutupinya dari rahmat-Nya.

Kedua adalah mereka yang mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak dan mustahil untuk-Nya, dari apa-apa yang “mutasyabihat” yang datang dalam kitab-Nya, lalu ia berkata “Allah Maha Mengetahui dari apa yang ada dalam kitab-Nya”. Meskipun mereka tidak menyekutukan Allah, namun mereka masih melalui penyimpangan. Mereka ini akan sampai kepada ketercelaan, meskipun tidak sampai kepada “hijab” atau ketertutupan dan siksaan yang abadi. Ibaratnya apa yang didapatkan orang-orang yang memberi santunan, berdiri di depan pintu, lalu orang-orang menempatkannya di tempat mulia, namun ia dicela karena tidak memberikan penghormatan.

Ketiga adalah perjalanan orang-orang yang dijaga dan dilindungi, diperhatikan dan disertai dengan petunjuk jalan. Mereka ditakuti manusia namun mereka tidak pernah takut, disedihkan manusia namun mereka tidak pernah sedih, karena sebenarnya mereka telah meninggalkan ketakutan dan kesedihan itu. Orang yang telah meninggalkan sesuatu tidak mungkin ia ada di dalamnya. “Mereka tidak disedihkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat) dan mereka disambut oleh para malaikat. Malaikat berkata “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu” (al-Anbiya’:103). Itulah kebahagian mereka di akherat. Mereka pergi ke sana.

Sedangkan orang-orang yang pergi bersama Allah, atau mendalami Allah terdapat dua golongan.

Golongan pertama ialah mereka yang pergi dengan pemikirannya dan menyelam dengan akalnya lalu mereka tersesat dan pasti akan tersesat, karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada penunjuk jalan kecuali akal dan fikirannya. Itulah para filosuf dan orang-orang yang mengikuti jalannya.

Golongan kedua adalah mereka yang diantarkan kepada-Nya, yaitu para utusan, nabi Allah dan orang-orang yang terpilih dari para wali-Nya, seperti Sahl bin Abdullah, Abu Yazid, Farqad As-sabkhi, Junaid bin Muhammad, Hasan Basri dan para ulama terkenal di zaman kita ini.
Akan tetapi kalau diamati, zaman kita bukanlah seperti zaman-zaman yang lalu (zaman Rasulullah) karena dekatnya zaman kita dengan alam akhirat, maka tabir-tabir rahasia banyak terkuak pada masa ini, lapisan-lapisan ruh mulai jelas dan nampak. Ulama pada masa kita lebih cepat membuka tabir (ilmu ghaib), lebih banyak mencapai kesaksian, lebih luas makrifat dan lebih sempurna dalam hakekat, namun lebih sedikit dalam amalnya dibandingkan dengan ulama zaman dulu. Mereka dulu banyak amalnya meskipun lebih sedikit “kashf”-nya (terbuka ke alam ghaib) dibandingkan kita. Itu karena kita jauh dari zaman sahabat yang menyaksikan langsung nabi Muhammad s.a.w. dan turunnya ruh-ruh kepadanya di tengah-tengah mereka. Mereka yang menerima cahaya pada masa itu sangat sedikit seperti Abu Bakar siddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama sepadannya. Amal pada masa lalu lebih banyak dilakukan dan ilmu pada masa sekarang lebih banyak didapatkan, dan ini terus bertambah hingga pada saat turunnya Isa a.s. Satu rakaat dari kita sekarang ini nilainya seperti ibadah satu orang orang pada masa lalu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. “Bagi orang yang beramal diantara mereka (pada masa dimana kebencian menjadi panutan, nafsu menjadi guru, harta menjadi penentu dan orang-orang bangga dengan pendapatnya sendiri-sendiri) pahalanya seperti pahala limapuluh orang yang beramal seperti amalan (pada zamanmu) sekalian” (Tirmizi, Ibnu Majah).
Alangkah indahnya perumpamaan itu dan alangkah halusnya isyarat yang diberikan Rasulullah s.a.w. Ini karena kedekatan kita dengan zaman akhir dan mulai nampaknya hukum-hukum dunia “barzakh”. Tidakkah kamu ingat perkataan Rasulullah: “Tidak akan datang hari kiamat sehingga paha seseorang berbicara tentang apa yang diperbuat si tuannya dan ujung cemeti (menceritakan apa yang dilakukan pemiliknya) dan pohon-pohon memberi tahu: “Ini ada orang yahudi yang bersembunyi di belakangku, bunuhlah ia”.

Ini semua terjadi di dunia, tidak lain karena mulai nampaknya perkara akhirat yang merupakan alam kehidupan. Sesungguhnya ilmu (hikmah) ini mulanya satu lalu menyebar dan ini memerlukan pembawa dan penyebarnya. Semakin banyak yang menyebarkannya, karena ini ilmu yang dimiliki orang-orang salih, maka ia pun terbagi. Itulah mengapa pada masa awal, sedikit orang yang mendapatkannya, dan mereka yang mendapatkannya pun tidak tampak dan tidak terlihat, karena ilmu tersebut menyebar di antara mereka.

Semakin sedikit orang-orang yang membawa ilmu tersebut, karena kerusakan yang telah merajalela di antara mereka, semakin banyak mereka bisa mendapatnya, karena bagian yang seharusnya menjadi milik orang-orang “fasik” diberikan juga kepada mereka. Itulah mengapa orang-orang salih pada masa akhir banyak bisa mendapatkan ilmu, “kasyf” dan terbukanya tabir (ghaib). Mereka yang dikaruniai ilmu ini pun akan terlihat dan nampak karena ilmu tersebut menonjolkannya dikarenakan banyaknya. Maha suci Dzat yang telah memberikan semuanya.
Amal mereka yang hidup di akhir zaman tetap senilai bila ditimbang dengan amal para pandahulunya, karena mereka mengikuti jalan pendahulunya. Ini karena timbangan yang ada adalah amal dan bukan ilmu kepada Allah, dan ilmu kepada Allah akan mempunyai nilai tersendiri “Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada orang yang Ia kehendaki. Allah mempunyai karunia yang agung” (al-Hadid: 21).

Risalah Ke 3 (Al-Isfar 'an-Nataijil Asfar)


Alam langit selalu diwarnai dengan perputaran bersama-sama dengan apa yang terkandung di dalamnya. Ia tidak pernah berhenti dan diam. Seandainya ia diam niscaya alam semesta ini hancur dan sirna. Perputaran bintang-bintang di angkasa merupakan perjalanan mereka, seperti dijelaskan oleh al-Qur’an “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan tempat-tempatnya” (Yaseen :39). Bergeraknya empat arah angin, bergeraknya janin-janin dalam setiap detik dengan perubahan dan perpindahan pada setiap nafas, perjalanan fikiran antara hal terpuji dan tercela, perjalanan nafas yang dihembuskan oleh mereka yang bernafas, perjalanan mata antara bangun dan terpejam, perjalanan pandangan dari satu dunia ke dunia yang lainnya dengan pengamatan dan I’tibar, semuanya adalah perjalanan yang dicerna oleh akal manusia.
Ada yang berkata bahwa dunia fisik ini sejak diciptakan oleh Allah senantiasa dalam perjalanan (proses) yang menempati ruang dan tak pernah berhenti. Maka sebenarnya kita semua senantiasa dalam perjalanan itu, sejak kelahiran kita, kelahiran nenek moyang kita sampai masa yang tak berujung. Ketika kamu merasa sampai di satu tujuan kemudian kamu berkata: “Ini lah sebenarnya tujuanku”, tiba-tiba terbuka untukmu jalan-jalan yang lain dan jalan itu terus bertambah, lalu kamu pun meninggalkan tempat itu. Tidak ada satu pun tempat dimana kamu sampai kepadanya, meskipun kamu telah berucap “Inilah tujuanku”, pasti sejenak setelah itu kamu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan yang lain.
Betapa banyak kamu berjalan melewat tingkat-tingkat kejadian dalam dirimu, mulai dari darah yang mengalir di tubuh bapak dan ibumu, kemudian darah itu berkumpul membentukmu entah dengan atau tanpa kesengajaan mereka. Kamu pun berubah menjadi mani (sperma), lalu berubah menjadi segumpal darah, lalu kamu melewati itu dan berubah menjadi segumpal daging, lalu tulang yang kemudian terbungkus daging, lalu ditumbuhkan sekali lagi dan dikeluarkanlah kamu ke dunia.

Lalu kamu pun melewati masa bayi, ke masa kanak-kanak lalu ke masa remaja dan dewasa, lalu ke masa tua dan pikun, inilah masa yang paling hina dari umurmu. Dari situ kamu pun pergi ke alam barzakh, setelah itu kamu akan melewatinya menuju hari kebangkitan. Kamu pun akan melewati jembatan (shirat) yang akan menghantarkanmu ke sorga atau ke neraka, bila kamu memang penduduknya. Namun apabila kamu bukan penduduk neraka, kamu masih akan melewati perjalanan neraka menuju sorga dan dari sorga ke tempat melihat Allah dan begitulah selamanya, kamu akan mondar-mandir dari sorga ke tempat melihat Allah.

Mereka yang di neraka juga terus mengalami perjalanan, naik dan turun silih berganti seperti sepotong daging yang direbus di dalam periuk di atas api yang membara “Setiap kali kulit mereka terkelupas, Aku gantikan dengan kulit yang baru agar mereka merasakan pedihnya siksaan-Ku”(An-Nisaa :56).

Tidak ada yang diam dan berhenti di alam ini. Siang dan malam, dunia ini senantiasa diwarnai dengan gerak dan perubahan yang silih berganti. Fikiran, perilaku dan sifat juga demikian, senantiasa berubah silih berganti bersama perubahan siang dan malam dan bersama silih bergantinya hakekat ilahiyah di atas semuanya. Hakekat ilahiyah terkadang turun dengan nama-Nya Yang penuh kasih sayang, terkadang dengan nama-Nya Yang Maha menerima taubat, Maha Memaafkan, terkadang dengan nama-Nya Yang Maha Memberi rizqi, Maha Mengkaruniai dan terkadang turun dengan nama-Nya Yang Maha Membalas dan dengan semua nama-nama Ilahiyah-Nya.

Hakekat ilahiyah tersebut terkadang turun kepadamu dari keagungan-Nya dengan karunia, rizqi, dendam, taubat, ampunan dan kasih sayang. Ia turun kepadamu atas permohonan dan ia turun dari-Nya atas karunia.

Dari situ seorang hamba hendaknya berfikir, agar menyelami perbedaan antara perjalanan yang ia diperintah untuk mempersiapkannya, perjalanan yang di dalamnya penuh dengan kabahagiaan, yaitu perjalanan kepada-Nya, bersama-Nya dan dari-Nya. Semua perjalanan ini telah disyariatkan kepadanya. Dan antara perjalanan yang tidak diperintahkan untuk mempersiapkannya, seperti mengayunkan kaki di atas bumi ke jalan yang halal, perjalanan dagang untuk melipatgandakan harta dan menyimpannya, dan seperti perjalanan nafas keluar dan masuk. Ini merupakan kabutuhan bagi pertumbuhannya.

Kita berdoa kepada Allah agar dikaruniai akhir yang penuh bahagia dan kesehatan yang sempurna.

Risalah Ke 2 (Al-Isfar 'an-Nataijil Asfar)

Terdapat tiga jenis perjalanan yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, yaitu perjalanan dari Allah, perjalanan kepada-Nya dan perjalanan bersama-Nya. Mereka yang melakukan perjalanan dari Allah, keuntungan yang akan didapatkannya adalah sebatas apa yang diperolehnya dalam perjalanan tersebut. Mereka yang melakukan perjalanan bersama Allah, tidak akan mendapatkan keuntungan kecuali apa yang ada dalam dirinya. Kedua perjalanan ini pasti mempunyai tujuan dan memerlukan ayunan langkah untuk mencapainya, kecuali perjalanan orang yang sesat yang tidak mempunyai tujuan yang pasti.
Jalan yang dilalui seorang musafir adalah darat dan laut. Allah berfirman “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan lautan” (Yunus : 22). Allah mendahulukan kata “darat” sebelum “laut” menujukkan bahwa seorang musfir tidak akan bepergian melewati laut kecuali terpaksa. Umar bin Khattab pernah mencela : “Seandainya tidak ada ayat ini, tentu aku akan melarang orang bepergian melewati laut”.
Seandainya ayat yang menganjurkan bepergian hanya sabda Allah “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan ni’mat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya dari itu semua (apa yang kalian lihat) adalah tanda-tanda bagi mereka yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (Luqman : 31), tentu ayat (surah Yunus) di atas juga cukup menjadi jawabannya.

Setiap perjalanan pasti akan melewati bahaya, kecuali perjalanan yang ditanggung oleh Allah, seperti perjalanan Isra’. Orang yang diperjalankan atau diajak berpergian oleh Allah pasti akan selamat, sementara orang yang berpergian sendiri pasti akan melewati mara bahaya.
Karena “wujud” sumbernya adalah “gerak”, maka demikian halnya Allah tidak akan terselimuti oleh sifat diam dan berhenti, karena itu mencerminkan ketidak-adaan (hampa). Demikian lah perjalanan ini selalu terjadi di alam langit (atas) dan alam bumi (bawah). Hakekat ilahiyah juga demikian, selalu diwarnai perjalanan pergi dan perjalanan pulang. Kita tahu bahwa Allah turun ke langit dunia dan kita tahu bahwa Allah bersinggasana di atas langit, seperti yang diceritakan oleh ayat-ayat-Nya. Kita tahu itu dengan tanpa perumpamaan dan persamaan.

Aiki no Kokoro (Jiwa dari Aiki) Bagian 2


Menyatu dengan lawan dapat digambarkan seperti dua sisi mata uang logam, meskipun berbeda dan bertolak belakang namun tidak mungkin ada satu sisi tanpa sisi lainnya dan tidak dapat dipisahkan. Setelah kita melebur dengan ki lawan, selanjutnya anda memelihara hubungan (koneksitas) yang harmonis dengannya setiap saat melalui sensitifitas, anda dapat mengikat ki lawan anda dalam gerakan yang anda lakukan, seakan menjadi dua kutub magnet yang saling melekat. Bila ki telah menjadi milik anda, maka anda dapat menggerakkan tubuh lawan seperti menggerakkan tubuh anda sendiri. Pada kondisi seperti ini, anda tidak merasakan lagi kekuatan atau berat tubuh lawan anda. Kedua hal tersebut seperti menghilang begitu saja, pada saat anda memulai kontak pertama dengan lawan. Hal ini yang disebut dengan ki no musubi

Ki musubi akan melahirkan kemampuan untuk mengalirkan ki lawan dengan gerakan selaras, yang disebut ki no nagare. Dapat diumpamakan sebagai aliran sungai, alur sungai tidak pernah memaksa aliran air untuk melewatinya, ia hanya menyediakan tempat termudah untuk dilalui oleh aliran air tersebut. Begitu pula air sungai tidak kuasa untuk keluar dari alur (tanah) yang telah terbentuk, sekalipun mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk menyapu bersih apa saja yang dilaluinya. Air sungai hanya dapat patuh mengikuti apa yang telah disediakan alam untuknya. Kekuatan sebesar apapun tidak akan mampu menentang hukum alam (the way of nature) yang telah Tuhan ciptakan.
O Sensei pernah berkata, siapapun yang memiliki hasrat menyerangku, akan kalah sebelum ia melakukan gerakan pertama. Karena sesungguhnya ia bukanlah menyerangku, tetapi menentang kekuatan keharmonisan alam semesta (universe). Seorang aikidoka harus mempunyai hati yang terbuka bebas dan selalu bersikap rendah hati, sehingga ki nya dapat menyatu dengan ki alam semesta yang diberikan oleh Sang Pencipta. Semua hal dan mahluk, baik spiritual maupun material, diseluruh alam semesta ini, memiliki satu ki yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Satu. Mereka merupakan satu kesatuan yang harmonis. Lihatlah alam yang ada di sekeliling kita yang begitu selaras dan indah. Perhatikan pula planet-planet yang berputar mengelilingi tata surya, serta milyaran bintang di galaksi. Mereka tidak pernah berbenturan satu sama lain. Mereka berotasi dan berevolusi dengan harmonis, sehingga membentuk energi yang sangat besar di alam semesta. Itu semua disebabkan oleh karena mereka menyerahkan diri mereka secara mutlak dan mematuhi hukum serta kehenda Sang Pencipta.
Penyerahan diri secara mutlak dalam situasi apapun terhadap Sang Sumber Kehidupan akan melahirkan energi kreatif yang tidak terbatas secara material dan spiritual. O Sensei menyebutnya sebagai takemusubi aiki yang merupakan pencapaian nilai spiritual tertinggi didalam aikido. Bahkan ketika menghadapi suatu serangan sekalipun, hati kita tidak terkait atau terikat dengang si penyerang, teptapi terikat erat dengan tali langit yang menghubungkan kuta pada Sang Pencipta. Tubuh material dan spiritual akan diliputi oleh energi aiki yang terpancar keseluruh arah dan meyatu dengan energi alam semesta. Siapa saja yang berusaha menyerang akan lebur secara harmonis didalamnya tanpa daya. Tubuh dan hati bergerak berdasarkan tuntunan langit, sehingga apapun yang anda lakukan akan menjadi teknik yang tak terbayangkan sebelumnya (kami waza). Ini adalah bentuk tanpa bentuk, teknik tanpa teknik dan anda tidak akan memahaminya sampai anda mengalaminya.
Jalan aiki adalah sebuah jalan keharmonisan yang berbasiskan pada cinta dan kasih sayang secara universal. Juga jalan untuk melingkupi semua mahluk ciptaan dan menjaganya dari kehancuran. Hal ini disebut ban yu ai go. Tambahan lagi, kemenangan sejati adalah kemenangan atas diri sendiri dan bukan atas diri orang lain (masakatsu agatsu). Semua hal diatas bukanlah teori atau kumpulan kata-kata indah belaka, tetapi sesuatu yang benar-benar nyata. Anda harus menempatkannya di hati yang terdalam dan mempraktekkannya melalui latihan, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Minggu, 24 April 2011

Aiki no Kokoro (Jiwa dari Aiki) Bagian 1




Langkah pertama untuk mempelajari Aikido adalah untuk memahami jiwanya (spirit/ kokoro), sedangkan langkah pertama untuk mempelajari jiwa Aiki (aiki no kokoro) adalah memulainya dengan memahami diri kita sendiri. Artinya anda mempelajari tentang hati, pikiran dan tubuh kita sebagai satu kesatuan.
Menyatukan jiwa dan tubuh bukanlah hal yang mudah, salah satu jalan termudah adalah denga memusatkan pikiran dan energi kita pada seika tanden (ichi no itten) atau biasa disebut hara. Orang timur yakin bahwa, hara atau tanden yang terletak kira-kira 3 cm dibawah pusar, sebagai pusat dan poros energi kehidupan dalam diri manusia. Orang cina biasa menyebut titik atau tempat ini sebagai lautan ki atau sea of chi
Dengan memusatkan fikiran dan energi kita pada tanden, maka secara otomatis kita akan merasa lebih relaks dan semua gerakan kita akan lebih stabil dan terkontrol. Kondisi ini adalah kondisi mutlak yang kita perlukan untuk melakukan teknik-teknik aikido. Tetapi memelihara konsentrasi pada tanden saja tidaklah banyak berarti, jika kita tidak sertai dengan memelihara hati agar selalu dalam nilai kebaikan dan ketulusan. Sifat kebencian, permusuhan, kemarahan, kesombongan atau sifat negatif lainnya tidak dapat bersemayam didasar setiap teknik aikido. Jika kita melakukan teknik aikido didasari oleh sikap hati yang buruk (negative manner of Ki), maka tubuh kita akan bergerak mengikuti hawa nafsu ( desire) dan ego (selfishness). Setelah itu kita akan segera kehilangan ketenangan hati, tidak lagi dapat berpikir jernih, tubuh akan menjadi keras dan kaku. Dengan demikian kita telah kehilangan kontrol terhadap diri sendiri dan orang yang kita hadapi. Kita telah kehilangan aiki no kokoro
Oleh karena itu menjaga hati dan pikiran dalam keadaan positif merupakan hal yang sangat penting dalam berlatih aikido. Dalam latihan kita harus memiliki ketulusan hati yang sejati disebut makoto atau true heart dan juga sikap rendah hati terhadap partner latihan kita. Kesombongan hanya akan membuahkan kebodohan pada diri sendiri. Sedangkan sikap rendah hati akan melahirkan pohon pengetahuan dan akan terus berbuah selama kita memeliharanya. Jiwa ini disebut shoshin atau beginner spirit
Dengan melakukan teknik yang terfokus pada tanden, serta menjaga ketulusan hati pada setiap gerakan yang kita lakukan, akan menjadikan jiwa dan tubuh berada dalam keadaan satu kesatuan yang bergerak secara harmonis dan akan memancarkan energi kehidupan yang sangat kuat, dimana energi ini disebut Ki. Melalui keadaan ini kita dapat melakukan penetrasi pada orang yang kita hadapi tanpa sedikitpun konflik. Dengan demikian kita telah memasuki langkah kedua dalam Aiki yaitu keharmonisan diri dengan orang lain.
Sebagaimana jiwa dan tubuh kita menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, demikian pula inti keharmonisan dengan orang lain, yaitu untuk menjadi satu kesatuan dengannya. Mengharmoniskan orang lain bukan berarti mengalah untuk menang, bukan pula berkompromi, melainkan dengan meleburkan ki kita dengan ki orang lain dalam suatu keharmonisan secara instan. Ini merupakan konsep spiritual sekaligus fisikal yang disebut awase atau ki no awase (sinkronisasi ki).
Guna memahami konsep ki no awase, kita terlebih dahulu harus memahami apa yang disebut tai atari (honest body contact). Kuncinya adalah memelihara ketulusan hati dan kejernihan pikiran pada setiap saat, khususnya pada saat menghadapi orang lain. Hal ini tidak mudah, tetapi kita harus ingat bahwa O Sensei pernah berkata tidak ada musuh dalam aikido saya. Ini berarti jangan sampai ada musuh didalam hati dan pikiran kita. Apabila lawan datang datang menghampiri kita kemudian kita melihatnya sebagai musuh, maka hati kita akan dipenuhi perasaan takut, benci, marah atau setidaknya perasaan tidak suka, sehingga tai atari tidak tercapai. Sebaliknya bila anda menyambut agresi lawan dengan hati dan pikiran yang terbuka dan tulus, tidak menolaknya serta melihatnya sebagai suatu manfaat maka dengan mudah kita akan melebur dengan lawan kita serta menjadikan konflik sebagai jalan menuju keharmonisan. Hal ini yang disebut sebagai ki no awase. Sekali lagi kita harus ingat bahwa tidak ada musuh dalam aikido sehingga jika anda merasa ada musuh, maka sadarilah bahwa satu-satunya musuh adalah diri sendiri.

source: http://www.aiki-kenkyukai.com

Kamis, 07 April 2011

CARA MEMAKAI OBI/SABUK

Beberapa rekan bertanya pada saya, bagaimana sih cara memakai Obi/Sabuk yang benar…, dan pertanyaan tersebut memberi ide buat saya untuk membuat panduan singkat mengenai Cara Memakai Obi/Sabuk ini.
Berikut langkah-langkah cara mengikat Obi/Sabuk, sbb :

123

1. Pegang ujung A (biasanya yg terdapat tulisan/logo di ujungnya) dan letakkan di sebelah kiri pinggang (lihat Gambar 1),

2. Kemudian lilitkan ujung B melingkar pinggang sebanyak 2 kali lilitan (lihat Gambar 2 & 3),

45

3. Setelah kedua ujung sabuk bertemu di depan kemudian ujung B selipkan ke bawah lilitan sabuk tadi dari arah bawah ke atas (lihat Gambar 4 & 5),

6

4. Kemudian samakan panjang kedua ujungnya, ujung A & B (lihat Gambar 6),

78

5. Langkah berikutnya, masukkan ujung A di tengah antara lilitan pertama dan kedua, dari bawah-ke atas-trus diselipkan ke arah bawah (lihat Gambar 7 & 8),

910

6. Setelah itu masukkan ujung yang satunya (ujung B) dari atas masuk ke arah dalam lubang yang dibuat saat ujung A tadi diselipkan ke dalam lilitan sabuk (lihat Gambar 9),

7. Setelah itu tarik kedua ujung Obi/Sabuk, dan kemudian rapikan bentuk simpulnya (lihat Gambar 10).

Demikian semoga artikel ini dapat membantu rekan-rekan saat mengikat Gi/Dogi (baju latihan) menggunakan Obi/Sabuk.
Memang tidak ada standard khusus mengenai cara memakai Obi/Sabuk, akan tetapi dengan mengikat Obi/Sabuk secara benar akan memberikan keuntungan bagi kita yaitu Obi/Sabuk tidak akan mudah kendor/terlepas dan juga akan terlihat lebih rapi.

Note : Usahakan panjang sabuk disesuaikan dengan tinggi badan/ukuran lingkar pinggang agar saat memakai Obi/Sabuk tersebut tidak terlihat terlalu pendek/terlalu panjang.


Lihat videonya:




sumber: aikidosurabaya.wordpress.com


Minggu, 03 April 2011

JAGAD KECIL JAGAD BESAR

Guna melatih mengenali dan mengendalikan hawa nafsu, sekaligus memahami kehidupa...n serta membangun kepedulian terhadap sesamanya, ayah dan ibu melatih melakukan berbagai puasa semenjak saya berusia lima tahun. Dengan aneka macam puasa seperti puasa Ramadhan, puasa mutih dengan hanya semata-mata makan nasi putih dan minum air putih, puasa ngrowot dengan hanya memakan buah-buahan segar, semua pemahaman tadi diajarkan kepada kami.

Dalam beberapa hal pelajaran itu bisa langsung saya cerna dan pahami. Namun ada satu hal yang ternyata baru bisa saya mengerti setelah dewasa, yaitu pemahaman tentang pengibaratan manusia sebagai jagad (alam) kecil dan jagad besar.

Dalam buku “Memaknai Kehidupan” saya telah menulis, paham Jawa sering menyebut manusia dan alam raya sebagai jagad kecil dan jagad besar. Tetapi kadang-kadang juga disebut kebalikannya. Akibatnya saya pun jadi bingung.

Alhamdulillah, uraian Prof.Dr.KH. Muhibbuddin Wally dalam buku “Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf” yang membahas Kitab Al Hikam yang tersohor karya Al-Iman Ahmad Abul Fadhal gelar Tajuddin bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah Askandary, kemudian dapat menjawab kebingungan saya selama ini. Padahal sebelumnya saya telah mencoba mendalami berbagai buku tentang hal tersebut, baik buku-buku asli seperti Kidung Kawedar, Centini, Wedhatama, Wulangreh, Serat Nitiprana, Cipta Waskita, Dewa Ruci dan lain-lain, maupun tulisan-tulisan pengamat zaman sekarang.

Menurut pembahasan kitab Al Hikam tersebut, manusia akan menjadi copy dari alam atau jagad raya, atau menjadi alam kecil apabila rohaninya tidak dapat mengalahkan kemanusiaannya. Sebaliknya jika rohaninya bisa menundukkan unsur kemanusiaannya, unsur lahiriah-nya, atau hakikat dirinya lebih menonjol dibanding jangkauan pancainderanya, maka masuklah ia ke dalam “alam malakut yang jabarut”. Dalam keadaan yang seperti itu manusia menjadi jagad besar, sedangkan alam yang kita lihat justru menjadi copy dari manusia. Begitu besar rohani kita sehingga tidak dapat ditampung oleh bumi dan langit.

Kita semua sependapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu ruh dan tubuh. Tetapi mengenai ruh dan jiwa, sulit dipisahkan dan dibedakan. Meskipun demikian, sebagian penganut tasawuf membedakan ruh dengan jiwa. Sebab jiwa itu merupakan perpaduan antara ruh dengan tubuh, dengan jasad lahir. Jadi jiwa adalah hasil kinerja antara ruh dengan jasad.

Jiwa manusia menurut Al Hikam, apabila suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah jiwa tersebut ke alam jabarut, yaitu alam dimana malaikat termasuk dalam salah satu jenisnya. Dalam keadaan seperti ini tidak ada dinding penghalang antara sang jiwa dengan Sang Pencipta. Di mata orang yang memiliki jiwa seperti itu, alam raya nampak begitu kecil bagaikan sebutir biji sawi. Alam raya yang tertangkap oleh pancainderanya menjadi alam kecil, sedangkan dirinya menjadi alam besar.

Manusia yang seperti itu memperoleh sebutan Rohaniyin Malakutiyin, manusia-manusia rohani yang berada dalam alam malaikat, yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera manusia. Tubuh manusia yang seperti itu meskipun berada di kalangan manusia dan makhluk-makhluk lain, tetapi jiwanya melakukan perjalanan yang tidak terbatas lagi, tiada ujung, untuk senantiasa berada di sisi Allah Yang Maha Agung. Demikian pula sebaliknya, manusia disebut alam kecil yang merupakan copy dari alam mayapada, karena berbagai hakikat alam makhluk terkumpul padanya. Ada sifat setan yang keras kepala dan senang berbuat dosa. Ada sifat binatang, yang mudah marah dan kalap seperti singa buas, atau selalu berkobar nafsu syahwatnya tanpa mengenal malu dan membedakan sanak saudara seperti babi. Ada anjing yang meskipun sudah diberi makanan yang bagus-bagus toh masih tetap rakus akan bangkai, atau serigala yang penuh tipu daya dan suka main keroyok.

Manusia juga memiliki sifat tumbuh-tumbuhan, yang semula kecil, subur dan indah, menjadi besar, tua dan layu kemudian mati. Memiliki sifat langit yang dapat menjadi tempat rahasia dan cahaya dari ilmu, akal dan nuraninya. Memiliki sifat bumi, sifat Al-Qalam, sifat Lauhil Mahfuz sebagai tempat menyimpan ilmu, serta sifat-sifat ketuhanan.

Hatta, jika manusia tidak dapat mengelola dengan baik berbagai sifat tersebut, bahkan sebaliknya diperbudak, maka dirinya hanyalah merupakan alam kecil. Naudzubillah.

Copy Right: Tasawuf Jawa