Blogroll

Selasa, 24 Mei 2011

Sensei Imanul Hakim

"Orang yang paling kuat di aikido adalah orang yang paling murni hati dan jiwanya, paling ikhlas, dan paling sabar. Bukan orang yang paling banyak membanting lawan," kata Imanul hakim.

Suasana dojo (tempat pencerahan/tempat berlatih aikido) di jalan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu menjelang pukul 20.00, mulai ramai. Satu demi satu aikidoka (sebutan untuk orang yang belajar aikido) berdatangan. Mereka terdiri dari siswa sekolah, mahasiswa, karyawan, para profesional, juga ibu-ibu.

Ruang berukuran 10 x 10 meter yang berlantai parkit itu sudah dialasi karpet karet. Di dinding ruangan tergantung beberapa poster bertuliskan huruf kanji Jepang. Sebuah foto O-sensei (maha guru) Morihei Ueshiba, pendiri aikido, disandingkan dengan poster-poster itu.

Seorang prig berkulit putih yang sering disapa Sensei Hakim, masuk ke dojo memperagakan beberapa teknik aikido. Ia memanggil Seorang senpai (aikidoka senior) untuk bertindak sebagai penyerang. Dengan wajah tenang, Sensei Hakim menahan serangan. Bahkan ia berputar-putar seperti sedang menari. Tak lama kemudian, senpai berbobot 100 kg itu hilang keseimbangan dan jatuh. Apa sebenarnya yang terjadi?

"Teknik aikido yang dilakukan dengan benar, akan membuat lawan tidak merasa dipaksa, tidak merasa ada dorongan, tidak merasa ada tarikan, tahu-tahu ia bergerak, kehilangan keseimbangan, dan jatuh. Ekspresinya meringis dan sekujur badannya seperti kram," kata Sensei Hakim pada saat istirahat. "Bukan karena ia menahan sakit, tetapi karena ia sulit mengendalikan diri," lanjutnya.

Tenaga orang itu sebenarnya yang dipakai untuk melawan dirinya sendiri, sampai akhirnya ia terjatuh. "Sementara ekspresi orang yang diserang tidak berubah, tenang, bahkan tersenyum. Jika berubah, berarti ada sisi negatif dalam dirinya, egonya yang tampil di situ. Dan itu sudah bukan aikido," ujarnya.

Menyatu dengan Spirit Aikido

Simpatik, tegas, bersahabat, itulah kesan pertama ketika kami menemui Sensei Hakim (33 tahun) di dojo tempatnya mengajar yang bernaung di bawah Yayasan Indonesia Aikikai. Posturnya yang tegap (tinggi 183 cm dan berat 80 kg) tampak begitu gagah pada saat mengenakan paduan dogi (baju untuk latihan) dan hakama (celana tradisional Jepang) untuk berlatih aikido. Pria berdarah campuran Lampung dan Belanda ini dalam mengajarkan aikido selalu menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada murid-muridnya.

"Saya belajar aikido di Jakarta sejak SMP. Hanya untuk mencari esensi bela diri saja," tuturnya. "Teknik saya dulu keras, tidak halus seperti sekarang ini. Dulu saya nggak percaya adanya energi atau kasih sayang," sambungnya.

Tetapi, setelah menjadi guru aikido di dojo Karawaci pada tahun 1998, dan selama lima tahun mengajar Paswapres (pasukan pengawal presiden), ia mulai merenungkan kembali esensi beladiri yang sebenarnya. "Kesimpulan saya, jika seseorang hanya mempelajari tekniknya saja, maka ia akan menjadi mesin pembunuh (killing machine). Lalu buat apa manusia dilatih jika untuk membunuh orang lain? Rasanya ada yang salah kalau beladiri dipakai untuk menghancurkan orang lain," lanjutnya.

Dasarnya cinta kasih

Setelah beberapa bulan memperdalam aikido di Jepang melalui beberapa guru, seperti Ikuhiro Kubota Shihan (Director of Nara Aikikai), Yohinobu Takeka Shihan (Director of A. K.I and Shonan Aikido Federation), dan Seigo Okamoto Soke (Head of Roppokai Daito-ryu Aikijujutsu), wawasannya semakin luas. Para sensei itu bukan sekedar mengajarkan teknik beladiri, melainkan lebih ke falsafah aikido seperti nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya dan spirit bushido (orang yang rela mengorbankan hidupnya demi hal yang dianggap mulia).

"Ternyata komponen utama dalam aikido adalah hati dan pikiran, bukan badan. Saya pun tersentuh. Saya mulai menyadari ternyata aikido ini ibarat bela diri sufi," katanya. Sufi adalah orang-orang yang mengabdikan diri dan seluruh hidup dan kehidupan mereka hanya untuk Tuhan semesta alam semata.

"Dalam hubungannya dengan bela diri sebenarnya bela diri Sufi itu tidak pernah ada, tapi hanya ungkapan atau istilah pribadi yang saya gunakan untuk menjelaskan esensi aikido, khususnya kepada mereka yang Muslim. Sama seperti falsafah Sufi, esensi aikido yang disebut takemusu aiki, tidak ada ikatan kecuali ikatan dengan Sang Pencipta. Setiap gerakan yang dilakukan terikat pada divine will dan pada tingkatan ini seseorang telah terlepas ego dan nafsu rendahnya. "Hal tersebut dijelaskan oleh O-Sensei," katanya. Aikido dasarnya cuma cinta kasih, kasih sayang kepada semua makhluk, sifatnya absolut, bahkan kepada lawan atau musuh kita. "Ini yang membuat saya jatuh cinta pada aikido," tuturnya.

Diterapkan ke semua aspek kehidupan

Sulit memisahkan antara sosok Hakim dengan aikido. Agaknya ilmu beladiri asal Jepang itu sudah merasuk ke dalam jiwanya. Apabila disodori pertanyaan, jawabannya selalu mengacu pada falsafah aikido. Sebab menurutnya, filosofi aikido dapat diterapkan ke semua aspek kehidupan, seperti ke pekerjaan, kehidupan rumah tangga, dan kesehatan.

"Intinya adalah keharmonisan, yaitu keseimbangan antara hati, tubuh, dan pikiran. Pikiran kita harus jernih, hati harus bersih, tubuh harus terpelihara. Pikiran selalu dimuati hal-hal yang positif, tubuh diisi dengan makanan yang sealami mungkin, dan hati dijaga agar selalu pada zona tulus dan ikhlas," tuturnya.

Tujuan aikido menurutnya bukanlah semata-mata belajar secara teknis mengalahkan orang yang menyerang, tetapi lebih pada penempaan diri. "Bagaimana menjaga keharmonisan diri sendiri, yaitu menyatukan hati, pikiran, dan tubuh, dalam satu kesatuan. Terkadang hati berbeda dengan pikiran dan badannya, sehingga terjadi konflik internal. Konflik inilah yang merupakan sumber segala masalah. Penyakit sering muncul dari konflik internal ini, karena adanya ketidak-seimbangan dalam tubuh," lanjutnya.

Pemikir yang Sering Merenung

Sensei Hakim adalah seorang pemikir, ia mengaku sejak remaja sudah sering merenung tentang nilai-nilai kehidupan. Misalnya, mengapa alam ini ada, mengapa ia ada, bagaimana Sang Pencipta mengatur alam ini. Sehingga, menurutnya, jika konsep sehat dikaitkan dengan kebesaran Tuhan, bukanlah hanya tidak sakit, tetapi merupakan tanggung jawab manusia untuk selalu menjaga kesehatannya. "Tuhan menciptakan kita dalam bentuk yang sempurna, ya jangan dirusak. Hidup ini amanah. Kita diberi hati adalah amanah, artinya harus dipelihara. Diberi pikiran juga amanah, demikian pula diberi badan pun amanah," katanya lagi.

Anda agaknya spiritual sekali? Pria yang pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah jurusan tarbiyah itu tersenyum. " Dalam hidup saya ada dua hal yang menarik. Pertama, masalah spiritual dan agama. Kedua, bela diri. Kedua hal ini seakan-akan berjalan seiring, tetapi tidak bersatu. Ibaratnya satu di kanan, satu di kiri. Tetapi dalam perjalanan hidup saya, tiba-tiba keduanya kok semakin mendekat, dan akhirnya menyatu," ujarnya.

Aikido dan spiritualisme

Pun kepada murid-muridnya yang kebanyakan non-Muslim, ia selalu menanamkan nilai-nilai spiritual dengan bahasa universal. "Saya sering mengajak mereka untuk ikut merenung tentang alam semesta, atau sekadar merenungkan siapa diri kita, siapa Sang Maha Pencipta, dan tidak lupa saya selalu mengingatkan agar sebagai makhluk kita harus banyak bersyukur," katanya.

Ia pun sering memberikan kiatnya agar bisa harmonis dengan orang lain. "Kalau kita bisa melihat keagungan Tuhan pada diri orang lain, bahkan pada lawan kita, kita akan berhenti memusuhinya. Mungkin saja keberadaannya memang diciptakan untuk kita, untuk saling mengambil pelajaran. Seperti halnya fenomena siang dan malam di alam semesta ini, bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk mencapai suatu keharmonisan."

Adakah murid yang protes jika Anda memberi nasihat seperti itu? "Ya, ada murid yang nggak tahan. Mereka bilang, saya ini ngajar apa?" katanya sambil tertawa.

Diet Chi

Demi menjaga kesehatan, dalam kesehariannya bersama Shanti, istrinya, ia berusaha mengkonsumsi makanan yang bersahabat dengan tubuh. "Kunci utamanya adalah keseimbangan. Saya tidak pantang makan daging. Roti pilihan saya roti gandum. Sayur dan buah-buahan organik selalu saya usahakan, kendati masih mahal," katanya. Sedangkan makanan dalam kaleng, seperti makanan ringan atau kornet, sudah lama dihindarinya.

Pemilihan makanan sehat itu tidak terlepas dari sebuah buku Diet Chi (bahasa Mandarin chi adalah energi) yang pernah dibacanya. "Saya mencoba menerapkannya dalam keseharian meski agak sulit, karena kita sudah terkepung oleh berbagai makanan yang artifisial," ujarnya.

Buku itu membahas empat kategori penting yang berkaitan dengan chi makanan. Makanlah sesuatu pada usia chi-nya. "Misalkan kita memetik tomat dari pohonnya, lalu kita letakkan di meja tanpa kita masukkan ke kulkas. Berapa lama ia tahan? Katakanlah tiga hari, maka itulah usia chi atau usia kehidupan tomat itu, "katanya. Tetapi dengan teknologi, kita bisa memanipulasinya, misalnya dengan memasukkannya ke kulkas. "Tomat bisa tahan berminggu-minggu, tapi energinya 'terbang', sehingga yang kita makan hanya "bangkainya". Vitamin memang tersisa, tetapi kita tidak lagi mendapatkan energi yang bagus, " tuturnya.

Lalu, usahakan makan sesuatu yang tidak terkontaminasi bahan kimia, seperti sayur organik, buah organik, karena sayur dan buah organik tidak diberi pestisida. "Hal yang baik untuk pertanian kita, makanlah apa yang tumbuh di negeri/tanah sendiri," lanjutnya. Tidak mengimpor dari luar negeri, karena kita hidup di iklim yang sama, lahir di tempat yang sama, chi-nya sama. Yang kita butuhkan adalah makanan yang chi-nya sama dengan kita. "Kita nggak butuh makanan yang tumbuh di negara empat musim karena chi-nya berbeda. Kita sering bangga makan makanan luar negeri, tetapi menurut diet chi, itu salah," sambungnya.

Yang keempat, jangan memproses makanan secara berlebihan. "Kita boleh merebus makanan, tetapi jangan terlalu lama, karena chi-nya akan rusak," katanya.

Self healing dan obat alami

Dalam rangka menjaga kebugaran sebagai rasa tanggungjawab merawat kesehatannya, sebisa mungkin ia menghindari pemakaian obat-obatan. "Saya suka mengkonsumsi minuman prebiotik, terutama kalau sakit perut karena salah makan. Tetapi kalau sakit perut karena keracunan, saya memilih norit. Saya lebih suka minum obat-obat alami seperti itu," katanya.

Bahkan, ia punya cara sendiri untuk mengusir rasa sakit, seperti pengalamannya menghadapi sakit gigi. Padahal, pada saat yang bersamaan waktunya, ia harus mengajar di dojo. "Saya cuma diam mengamati diri saya sendiri, dan berbicara di dalam hati. Saya tahu gigi saya berlubang, dan saya harus ke dokter. Tapi hari ini saya harus mengajar, kasihan murid-murid saya. Besok kita ke dokter, tapi sekarang bantu saya karena saya harus konsentrasi. Gigi yang sakit diajak mengobrol saja, spontan sakitnya hilang. Berarti kita bisa bernegosiasi dengan tubuh kita, berkompromi, berbicara dengan diri kita sendiri. Biasanya berhasil, tetapi tentu saja itu dengan seizin Allah," katanya.

Apakah dengan melatih teknik-teknik aikido, seseorang bisa mendapatkan kesembuhan? "Insya Allah, bisa. Beberapa orang yang mengalami pengapuran, bisa sembuh. Tetapi tentu saja bukan penyakit yang berat seperti kanker," katanya.

Menghidupkan kembali nilai-nilai moral

Dengan membentuk komunitas aikido, ia bertujuan menghidupkan kembali nilai-nilai moral dan spiritual. "Harapan saya, aikido bisa menjadi sumbangan untuk bangsa ini. Bangsa kita adalah bangsa yang kaya tetapi miskin hati. Kita banyak dikelilingi oleh orang-orang yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Tetapi tidak bisa melihat apa yang terbaik untuk bangsa ini dan berkorban untuk itu," ujarnya.

Sebelum latihan, Sensei Hakim mengumpulkan murid-muridnya dan mengajak mereka duduk berhadapan. Mereka melakukan meditasi bersama. Meditasi itu disebut mokuso, artinya membersihkan hati dan pikiran untuk melakukan satu hal secara fokus 100%. Sebab, selama di dojo mereka tidak diperkenankan membawa hal lain. Seperti masalah yang ruwet di rumah, energi negatif dalam pikiran, emosi atau rasa kesal. "Yang harus selalu tertanam adalah rasa damai dan cinta kasih terhadap Sang Pencipta dan alam semesta yang indah ini,"katanya.

Sumber: http://cybermed.cbn.net.id/