Blogroll

Senin, 05 Mei 2014

Tasawuf dan Etika Pembebasan

 Setiap kata ”Pembebasan” muncul, selalu terbayang soal belenggu,penjajahan, tekanan, beban, derita, dan sejumlah situasi buruk atau pun kebudayaan yang menekan mentalitas manusia.

Seluruh usaha intelektualisme maupun gerakan psikologi pembebasan terus berupaya menyelesaikan belenggu-belenggu kemanusiaan ini, dan hanya berakhir dengan beberapa penyelesaian:

Pseudo Solution atau penyelesaian yang semu, karena hanya menyentuh aspek pinggirian eksistensi manusia itu sendiri. Lalu diikuti oleh cara-cara instan, semacam ”pemadam kebakaran” belaka.

Penyelesaian egoistis, yang mengeksplorasi kemampuan, kekuatan, kehebatan dan eksistensi ”keakuan” sebagai perlawanan atas penderitaan yang selama ini ada. Lalu muncul jargon psikologis, ”Aku Bisa...!Aku Berdaya...!Aku Mampu....Aku Hebat!”. Solusi ini menimbulkan kekuatan egois yang luar biasa, tetapi dengan karakter arogansif, diktator, opressif, dan pengabaian nilai-nilai Ketuhanan.

Solusi passif, pembiaran atas masalah dengan asumsi akan selesai dengan sendirinya.

Dalam gerakan pemikiran dan dakwah agama, seringkali bentuk-bentuk pembebasan dimunculkan melalui:

Perlawanan yang frontal dan radikal terhadap apa pun yang berbeda dan mengancam.

”Pelarian-pelarian semu” pada agama, dengan bersembunyi dibalik ”takdir, Kebesaran Tuhan,  Kehendak Tuhan, dan sebagainya...” tanpa proses edukasi dan pemahaman apa yang disebut dalam firman Allah Swt ”Larilah kalian kepada Allah Swt...”

Agama dijadikan lahan industri ekonomi sebagai cara membebaskan diri dari himpitan sosial dan ekonomi,  dan malah berakhir dengan ”tragedi industri agama” yang memuakkan. Kasus ”Islam Tontonan” dibanding ”Tuntunan”  menjadi reprensentasi paling sederhana.

Agama dijadikan solusi pembebasan, tetapi tidak pada akar fundamental agama maupun hakikat kemanusiaannya, sehingga interaksi agama dan manusia hanyalah interaksi dari kulit ke kulit.

Agama tidak dimaujudkan dalam keutuhan beragama, tetapi  elemen-elemen agama malah dijadikan sejumlah poitensi konflik untuk saling dibenturkan.

Dalam proses pembebesan sedemikian rupa, posisi manusia, agama dan Allah Swt, bukannya hadir dalam bentuk interaksi yang beradab, tetapi malah berada dalam posisi saling menuding. Dan itulah sekulerisme paling maniak dalam kehidupan beragama kita.

Dalam tataran keagamaan (Islam), proses pembebasan dijadikan bagian paling fundamental dalam kehidupan. Dan karena itulah dimunculkan hubungan-hubungan Ketuhanan yang bersentuhan langsung dalam eksistensi diri manusia: yang terdiri dari aspek lahiriyah, aspek bathiniyah, dan aspek rahasia bathin.

Reposisi yang tegas disampaikan oleh Rasulullah saw, melalui ajaran Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga aspek yang sangat berpengaruh dalam peradaban ummat Islam sepanjang masa, dan kelak jugamempengaruhi proses-proses konflik dan damai dalam dinamika sejarahnya.

[B]PEMBEBASAN ESENSIAL
[/B]Salah satu nilai esensial dalam praktek pembebasan, adalah pembebasan dari perbudakan segala hal selain Allah swt. Dalam sebuah ayat Surat Al-Fatihah “IyyaKa Na’budu wa-IyyaKa Nasta’iin” (Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan).

Kata “Na’budu” (Kami menyembah), bukan A’budu (saya menyembah) sudah menunjukkan bahwa wujud kehambaan kita, adalah totalitas diri kita, lahir, batin, rahasia batin dengan seluruh elemennya yang dimunculkan dengan kata “kami”.

Statemen final dari kehambaan kita dalam IyyaKa Na’budu, sebagai pengabaian atas segala perbudakan selain kepada Allah Swt, yang kelak dalam dunia Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandary, ”Mathlabul ‘Arifin,  ash-Shidqu fil-‘Ubudiyah wa-Iqomatu Huquq ar- Rububiyyah” (yang dicari oleh para arifun adalah benar dalam menjalankan kehambaan dan menegakkan Hak-hak Ketuhanan).

Karena itu, posisi “wa-IyyaKa Nasta’in” (hanya kepadaMu kami memohon pertolongan) adalah manifestasi dari wujud penegakan Hak-Hak Ketuhanan dalam kepribadian sang hamba.

Dengan bahasa lain yang senada, Ibnu Athaillah as-Sakandary, menyebutkan dalam bahasa tugas, yaitu “Tahaqququl ‘Ubudiyah”  (mewujudkan kehambaan) dan “Ta’alluq bir-Rububiyah” (menggantungkan diri pada Sifat Ketuhanan), bukan mewujudkan Sifat Ketuhanan.

Sejumlah Sufi juga menegaskan:

IyyaKa Na’budu adalah kefanaan hamba, wa-IyyaKa Nasta’in adalah Baqo’Nya Allah swt.
IyyaKa Na’budu, adalah jika engkau tak mampu melihatNya maka Dialah yang Melihatmu, dan wa-IyyaKa Nasta’in  jika engkau menyembah seakan-akan engkau melihatNya.
IyyaKa Na’budu adalah Mi’raj, wa-IyyaKa Nasta’in adalah Rahmatan Lil-‘Alamiin.
IyyaKa Na’budu adalah ibadah dan ‘ubudiyah (hendaknya menyembah dan menuju) wa-IyyaKa Nasta’in adalah ‘abudah, hendaknya engkau Musyahadah dan Ma’rifah.
IyyaKa Na’budu adalah Taraqqy (menanjak ke Ilahi), dan wa-IyyaKa Nasta’in adalah Tanazzul (turun bersama Allah Azza wa-Jalaa).

Penafsiran ayat di atas tentu akan terus memanjang tiada akhir, karena sifat absolutnya Ketuhanan Allah Rabbul’ Izzah.

Namun, ada beberapa tonggak penyangga yang bisa mengokohkan kehambaan kita, agar pembebasan sejati maujud dalam kenyataan sehari-hari: Ada sepuluh penyangga ‘ubudiyah kita yang disebut oleh Ar-Rifa’I dalam Haalatu Ahlil Haqiqah ma’aLlah.

Pertama, Al-I’tisham Billah fii Kulli Syai’: Berkait pada Allah Swt dalam segala hal.
Kedua, Ar-Ridho ‘AniLlah fii Kulli Syai’: Ridho apa pun dari Allah dalam segala hal.
Ketiga,  Ar-Ruju’ IlaLlah fii Kulli Syai’: Kembali pada Allah dalam segala hal.
Keempat, Al-Faqru IlaLlah fii Kulli Syai’: Butuh pada Allah dalam segalanya.
Kelima, Al-Inabah IlaLlah fii Kulli Syai’: Kembalinya hati pada Allah dalam segala hal.
Keenam, Ash-Sahbru ma’aLlah fii Kulli Syai’: Sabar bersama Allah swt dalam segala hal.
Ketujuah, Al-Iqitha’ IlalLah fii Kulli Syai’: Memutuskan diri, jiwa hanya untuk Allah dalam segala hal.
Kedelapan, Al-Istiqomah BiLlah fii Kulli Syai’: Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Kesembilan, At-Tafwidh IlaLlah fi Kulli Syai’: Menyerahkan urusannya kepada Allah dalam segala hal.
Kesepuluh, At-Tasliim Lillah fii Kulli Syai’: Menyerahkan total dirinya pada Allah dalam segala hal.

Kesepuluh penyangga ‘Ubudiyah inilah yang kemudian bisa dissimpulkan dalam pandangan Ibnu Athaillah as-Sakandary, pada hikmah utama beliau “I’timad BiLllah” (Mengandalkan Allah Ta’ala).

[B]CAHAYA PEMBEBASAN
[/B]Apa yang muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah bagian dari siklus kemakhlukan dan semesta ini. Proses-proses hubungan manusia dengan Allah Ta’ala, dirinya dan alam semesta,  jika tidak dipancari Cahaya Allah Swt, akan memperpuruk kegelapan kita, akibat Hijab (tirai) yang menabiri kita dengan Allah Swt. (Walaupun hakikatnya tirai itu tidak ada,  namun imajinasi dan nafsu kita yang menciptakan tirai itu seakan-akan ada).

Tanpa Pencahayaan Ilahi, proses pembebasan hanyalah khayalan tentang pembebasan itu sendiri. Disinilah perlunya Pendidikan Ruhani (Tarbiyah Ruhiyyah) yang dibangun melalui Thariqat Sufi, dengan cara dan metode yang yang sangat khas, agar proses pembebasan dari belenggu semesta terwujudkan, dan sukses dalam wushul (sampai) pada Allah Azza wa-Jalla.

Karena itu para Ulama Sufi juga membangun paradigma dan sistematika pendidikan ruhani ini, agar memudahkan proses-proses tercapainya keutuhan Islam, Iman dan Ihsan. Imam Al-Ghazaly membangun sistematika yang cukup bagus dalam Al-Ihya’ maupun dalam  Kitab al-Arba’in fi Ushuliddin, dengan membagi 40 wacana pendidikian spiritual yang sederhana dan luar biasa.

Al-Ghazali misalnya membuat silabus yang cukup bagus dengan 40 prinsip utama:

Sepuluh prinsip pertama:  Ilmu dan Akidah: tentang Dzat Allah Swt; Taqdis Allah Swt; Qudrat; Ilmu; Iradat; Sama’ dan Bashar; Kalam; Af’al; Yaumul Akhir; dan Kenabian.

Sepuluh prinsip kedua: Amal-amal Lahiriyah: Shalat; Zakat dan Sedekah; Puasa; Haji; Membaca Al-Qur’an; Dzikrullah; Mencari Rizki yang Halal; Mememnuhi Hak Sesama Muslim dan Pergaulan Sosial; Amar Ma’ruf Nahi Mungkar; dan Mengikuti Jejak Nabi Saw.

Sepuluh Prinsip ketiga: Penyucian Hati dari Akhlaq Tercela: Makan rakus; Bicara Kotor; Amarah; Kedengkian; Bakhil dan Cinta Harta; Ambisi dan Gila Tahta; Cinta Dunia; Takabur; Takjub Diri; dan Riya’.

Sepuluh Prinsip keempat: Tobat; Khauf; Zuhud; Sabar; Syukur; Ikhlas dan Jujur; Tawakkal; Cinta; Ridho terhadap Qodho’; Mengingat Mati dan Hakikat Mati serga Ragam Siksa Ruhani.

Pada prinsipnya, menurut para Sufi, hakikat siksaan adalah Hijab itu sendiri.  Karena itu dalam, simpul kali ini kami sampaikan ungkapan hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandary:

”Semesta secara total adalah gelap gulita.Yang meneranginya adalah tampilnya Allah Swt dibalik alam ini. Siapa yang memandang alam semesta (lahir maupun batin, langit maupun bumi, dunia maupun akhirat, pent) namun tidak menyaksikan Allah Swt  di baliknya, atau di sisisnya, atau sebelumnya atau sesudahnya, maka ia benar-benar kabur dari wujud cahaya-cahaya, dan terhijab dari matahari ma’rifat olerh mendung-mendung semesta.”



KHM LUQMAN HAKIM, MA.