Blogroll

Tampilkan postingan dengan label Ibnu Arabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibnu Arabi. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 April 2011

Risalah Ke 4 (Al-Isfar 'an-Nataijil Asfar)


Mereka yang melakukan perjalanan dari Allah terdapat tiga golongan. Pertama : mereka yang dicampakkan, yaitu iblis dan orang-orang yang menyekutukan Allah. Kedua : mereka yang tidak ditolak dan tidak dicampakkan, namun penuh dengan kebimbangan dan keraguan, inilah orang-orang yang bergelimang maksiat, karena mereka tidak mampu singgah dalam keramaian dengan menentang rasa malu yang menguasainya. Dan ketiga adalah perjalanan ujian dan pemilihan, seperti perjalanan para utusan Allah dari-Nya kepada makhluq dan perjalanan kembali para pewaris dan ahli makrifat dari pengembaraanya menyaksikan dunia nafsu dalam kekuasaan, pemerintahan, tipu daya dan rekayasa.

Orang-orang yang berpergian menuju Allah juga terdapat tiga golongan.

Pertama mereka yang menyekutukan Allah, mem-benda-kan-Nya, menyerupakan-Nya dengan mahluk dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak untuk-Nya. Allah telah menegaskan “Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya” (al-Syuura:11). Mereka ini hanya akan sampai kepada “hijab” yang menutupinya dari rahmat-Nya.

Kedua adalah mereka yang mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak dan mustahil untuk-Nya, dari apa-apa yang “mutasyabihat” yang datang dalam kitab-Nya, lalu ia berkata “Allah Maha Mengetahui dari apa yang ada dalam kitab-Nya”. Meskipun mereka tidak menyekutukan Allah, namun mereka masih melalui penyimpangan. Mereka ini akan sampai kepada ketercelaan, meskipun tidak sampai kepada “hijab” atau ketertutupan dan siksaan yang abadi. Ibaratnya apa yang didapatkan orang-orang yang memberi santunan, berdiri di depan pintu, lalu orang-orang menempatkannya di tempat mulia, namun ia dicela karena tidak memberikan penghormatan.

Ketiga adalah perjalanan orang-orang yang dijaga dan dilindungi, diperhatikan dan disertai dengan petunjuk jalan. Mereka ditakuti manusia namun mereka tidak pernah takut, disedihkan manusia namun mereka tidak pernah sedih, karena sebenarnya mereka telah meninggalkan ketakutan dan kesedihan itu. Orang yang telah meninggalkan sesuatu tidak mungkin ia ada di dalamnya. “Mereka tidak disedihkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat) dan mereka disambut oleh para malaikat. Malaikat berkata “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu” (al-Anbiya’:103). Itulah kebahagian mereka di akherat. Mereka pergi ke sana.

Sedangkan orang-orang yang pergi bersama Allah, atau mendalami Allah terdapat dua golongan.

Golongan pertama ialah mereka yang pergi dengan pemikirannya dan menyelam dengan akalnya lalu mereka tersesat dan pasti akan tersesat, karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada penunjuk jalan kecuali akal dan fikirannya. Itulah para filosuf dan orang-orang yang mengikuti jalannya.

Golongan kedua adalah mereka yang diantarkan kepada-Nya, yaitu para utusan, nabi Allah dan orang-orang yang terpilih dari para wali-Nya, seperti Sahl bin Abdullah, Abu Yazid, Farqad As-sabkhi, Junaid bin Muhammad, Hasan Basri dan para ulama terkenal di zaman kita ini.
Akan tetapi kalau diamati, zaman kita bukanlah seperti zaman-zaman yang lalu (zaman Rasulullah) karena dekatnya zaman kita dengan alam akhirat, maka tabir-tabir rahasia banyak terkuak pada masa ini, lapisan-lapisan ruh mulai jelas dan nampak. Ulama pada masa kita lebih cepat membuka tabir (ilmu ghaib), lebih banyak mencapai kesaksian, lebih luas makrifat dan lebih sempurna dalam hakekat, namun lebih sedikit dalam amalnya dibandingkan dengan ulama zaman dulu. Mereka dulu banyak amalnya meskipun lebih sedikit “kashf”-nya (terbuka ke alam ghaib) dibandingkan kita. Itu karena kita jauh dari zaman sahabat yang menyaksikan langsung nabi Muhammad s.a.w. dan turunnya ruh-ruh kepadanya di tengah-tengah mereka. Mereka yang menerima cahaya pada masa itu sangat sedikit seperti Abu Bakar siddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama sepadannya. Amal pada masa lalu lebih banyak dilakukan dan ilmu pada masa sekarang lebih banyak didapatkan, dan ini terus bertambah hingga pada saat turunnya Isa a.s. Satu rakaat dari kita sekarang ini nilainya seperti ibadah satu orang orang pada masa lalu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. “Bagi orang yang beramal diantara mereka (pada masa dimana kebencian menjadi panutan, nafsu menjadi guru, harta menjadi penentu dan orang-orang bangga dengan pendapatnya sendiri-sendiri) pahalanya seperti pahala limapuluh orang yang beramal seperti amalan (pada zamanmu) sekalian” (Tirmizi, Ibnu Majah).
Alangkah indahnya perumpamaan itu dan alangkah halusnya isyarat yang diberikan Rasulullah s.a.w. Ini karena kedekatan kita dengan zaman akhir dan mulai nampaknya hukum-hukum dunia “barzakh”. Tidakkah kamu ingat perkataan Rasulullah: “Tidak akan datang hari kiamat sehingga paha seseorang berbicara tentang apa yang diperbuat si tuannya dan ujung cemeti (menceritakan apa yang dilakukan pemiliknya) dan pohon-pohon memberi tahu: “Ini ada orang yahudi yang bersembunyi di belakangku, bunuhlah ia”.

Ini semua terjadi di dunia, tidak lain karena mulai nampaknya perkara akhirat yang merupakan alam kehidupan. Sesungguhnya ilmu (hikmah) ini mulanya satu lalu menyebar dan ini memerlukan pembawa dan penyebarnya. Semakin banyak yang menyebarkannya, karena ini ilmu yang dimiliki orang-orang salih, maka ia pun terbagi. Itulah mengapa pada masa awal, sedikit orang yang mendapatkannya, dan mereka yang mendapatkannya pun tidak tampak dan tidak terlihat, karena ilmu tersebut menyebar di antara mereka.

Semakin sedikit orang-orang yang membawa ilmu tersebut, karena kerusakan yang telah merajalela di antara mereka, semakin banyak mereka bisa mendapatnya, karena bagian yang seharusnya menjadi milik orang-orang “fasik” diberikan juga kepada mereka. Itulah mengapa orang-orang salih pada masa akhir banyak bisa mendapatkan ilmu, “kasyf” dan terbukanya tabir (ghaib). Mereka yang dikaruniai ilmu ini pun akan terlihat dan nampak karena ilmu tersebut menonjolkannya dikarenakan banyaknya. Maha suci Dzat yang telah memberikan semuanya.
Amal mereka yang hidup di akhir zaman tetap senilai bila ditimbang dengan amal para pandahulunya, karena mereka mengikuti jalan pendahulunya. Ini karena timbangan yang ada adalah amal dan bukan ilmu kepada Allah, dan ilmu kepada Allah akan mempunyai nilai tersendiri “Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada orang yang Ia kehendaki. Allah mempunyai karunia yang agung” (al-Hadid: 21).

Risalah Ke 3 (Al-Isfar 'an-Nataijil Asfar)


Alam langit selalu diwarnai dengan perputaran bersama-sama dengan apa yang terkandung di dalamnya. Ia tidak pernah berhenti dan diam. Seandainya ia diam niscaya alam semesta ini hancur dan sirna. Perputaran bintang-bintang di angkasa merupakan perjalanan mereka, seperti dijelaskan oleh al-Qur’an “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan tempat-tempatnya” (Yaseen :39). Bergeraknya empat arah angin, bergeraknya janin-janin dalam setiap detik dengan perubahan dan perpindahan pada setiap nafas, perjalanan fikiran antara hal terpuji dan tercela, perjalanan nafas yang dihembuskan oleh mereka yang bernafas, perjalanan mata antara bangun dan terpejam, perjalanan pandangan dari satu dunia ke dunia yang lainnya dengan pengamatan dan I’tibar, semuanya adalah perjalanan yang dicerna oleh akal manusia.
Ada yang berkata bahwa dunia fisik ini sejak diciptakan oleh Allah senantiasa dalam perjalanan (proses) yang menempati ruang dan tak pernah berhenti. Maka sebenarnya kita semua senantiasa dalam perjalanan itu, sejak kelahiran kita, kelahiran nenek moyang kita sampai masa yang tak berujung. Ketika kamu merasa sampai di satu tujuan kemudian kamu berkata: “Ini lah sebenarnya tujuanku”, tiba-tiba terbuka untukmu jalan-jalan yang lain dan jalan itu terus bertambah, lalu kamu pun meninggalkan tempat itu. Tidak ada satu pun tempat dimana kamu sampai kepadanya, meskipun kamu telah berucap “Inilah tujuanku”, pasti sejenak setelah itu kamu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan yang lain.
Betapa banyak kamu berjalan melewat tingkat-tingkat kejadian dalam dirimu, mulai dari darah yang mengalir di tubuh bapak dan ibumu, kemudian darah itu berkumpul membentukmu entah dengan atau tanpa kesengajaan mereka. Kamu pun berubah menjadi mani (sperma), lalu berubah menjadi segumpal darah, lalu kamu melewati itu dan berubah menjadi segumpal daging, lalu tulang yang kemudian terbungkus daging, lalu ditumbuhkan sekali lagi dan dikeluarkanlah kamu ke dunia.

Lalu kamu pun melewati masa bayi, ke masa kanak-kanak lalu ke masa remaja dan dewasa, lalu ke masa tua dan pikun, inilah masa yang paling hina dari umurmu. Dari situ kamu pun pergi ke alam barzakh, setelah itu kamu akan melewatinya menuju hari kebangkitan. Kamu pun akan melewati jembatan (shirat) yang akan menghantarkanmu ke sorga atau ke neraka, bila kamu memang penduduknya. Namun apabila kamu bukan penduduk neraka, kamu masih akan melewati perjalanan neraka menuju sorga dan dari sorga ke tempat melihat Allah dan begitulah selamanya, kamu akan mondar-mandir dari sorga ke tempat melihat Allah.

Mereka yang di neraka juga terus mengalami perjalanan, naik dan turun silih berganti seperti sepotong daging yang direbus di dalam periuk di atas api yang membara “Setiap kali kulit mereka terkelupas, Aku gantikan dengan kulit yang baru agar mereka merasakan pedihnya siksaan-Ku”(An-Nisaa :56).

Tidak ada yang diam dan berhenti di alam ini. Siang dan malam, dunia ini senantiasa diwarnai dengan gerak dan perubahan yang silih berganti. Fikiran, perilaku dan sifat juga demikian, senantiasa berubah silih berganti bersama perubahan siang dan malam dan bersama silih bergantinya hakekat ilahiyah di atas semuanya. Hakekat ilahiyah terkadang turun dengan nama-Nya Yang penuh kasih sayang, terkadang dengan nama-Nya Yang Maha menerima taubat, Maha Memaafkan, terkadang dengan nama-Nya Yang Maha Memberi rizqi, Maha Mengkaruniai dan terkadang turun dengan nama-Nya Yang Maha Membalas dan dengan semua nama-nama Ilahiyah-Nya.

Hakekat ilahiyah tersebut terkadang turun kepadamu dari keagungan-Nya dengan karunia, rizqi, dendam, taubat, ampunan dan kasih sayang. Ia turun kepadamu atas permohonan dan ia turun dari-Nya atas karunia.

Dari situ seorang hamba hendaknya berfikir, agar menyelami perbedaan antara perjalanan yang ia diperintah untuk mempersiapkannya, perjalanan yang di dalamnya penuh dengan kabahagiaan, yaitu perjalanan kepada-Nya, bersama-Nya dan dari-Nya. Semua perjalanan ini telah disyariatkan kepadanya. Dan antara perjalanan yang tidak diperintahkan untuk mempersiapkannya, seperti mengayunkan kaki di atas bumi ke jalan yang halal, perjalanan dagang untuk melipatgandakan harta dan menyimpannya, dan seperti perjalanan nafas keluar dan masuk. Ini merupakan kabutuhan bagi pertumbuhannya.

Kita berdoa kepada Allah agar dikaruniai akhir yang penuh bahagia dan kesehatan yang sempurna.

Risalah Ke 2 (Al-Isfar 'an-Nataijil Asfar)

Terdapat tiga jenis perjalanan yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, yaitu perjalanan dari Allah, perjalanan kepada-Nya dan perjalanan bersama-Nya. Mereka yang melakukan perjalanan dari Allah, keuntungan yang akan didapatkannya adalah sebatas apa yang diperolehnya dalam perjalanan tersebut. Mereka yang melakukan perjalanan bersama Allah, tidak akan mendapatkan keuntungan kecuali apa yang ada dalam dirinya. Kedua perjalanan ini pasti mempunyai tujuan dan memerlukan ayunan langkah untuk mencapainya, kecuali perjalanan orang yang sesat yang tidak mempunyai tujuan yang pasti.
Jalan yang dilalui seorang musafir adalah darat dan laut. Allah berfirman “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan lautan” (Yunus : 22). Allah mendahulukan kata “darat” sebelum “laut” menujukkan bahwa seorang musfir tidak akan bepergian melewati laut kecuali terpaksa. Umar bin Khattab pernah mencela : “Seandainya tidak ada ayat ini, tentu aku akan melarang orang bepergian melewati laut”.
Seandainya ayat yang menganjurkan bepergian hanya sabda Allah “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan ni’mat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sesungguhnya dari itu semua (apa yang kalian lihat) adalah tanda-tanda bagi mereka yang sangat sabar dan banyak bersyukur” (Luqman : 31), tentu ayat (surah Yunus) di atas juga cukup menjadi jawabannya.

Setiap perjalanan pasti akan melewati bahaya, kecuali perjalanan yang ditanggung oleh Allah, seperti perjalanan Isra’. Orang yang diperjalankan atau diajak berpergian oleh Allah pasti akan selamat, sementara orang yang berpergian sendiri pasti akan melewati mara bahaya.
Karena “wujud” sumbernya adalah “gerak”, maka demikian halnya Allah tidak akan terselimuti oleh sifat diam dan berhenti, karena itu mencerminkan ketidak-adaan (hampa). Demikian lah perjalanan ini selalu terjadi di alam langit (atas) dan alam bumi (bawah). Hakekat ilahiyah juga demikian, selalu diwarnai perjalanan pergi dan perjalanan pulang. Kita tahu bahwa Allah turun ke langit dunia dan kita tahu bahwa Allah bersinggasana di atas langit, seperti yang diceritakan oleh ayat-ayat-Nya. Kita tahu itu dengan tanpa perumpamaan dan persamaan.